BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bimbingan dan konseling merupakan bagian
integral dari sekolah yang bertujuan memberikan bantuan kepada siswa baik perorangan
maupun kelompok agar menjadi pribadi yang mandiri dan berkembang secara optimal
(Sukardi, 2008). Penggunaan layanan bimbingan konseling memiliki fungsi yang
mempunyai hubungan dan pengaruh yang sangat besar bagi para siswa, baik dari sikap
maupun akademiknya (Yusuf dan Nurihsan, 2006). Di samping sebagai penyemangat bagi
para murid, penggunaan layanan bimbingan konseling juga bisa menjadi tempat mengadunya
para murid atau tempat konsultasi ketika murid sedang menghadapi masalah atau
problem dalam belajar.
Studi yang dilakukan oleh Myrick R.D
bahwa layanan bimbingan kalsikal yang disusun berdasarkan teori perkembangan
manusia membantu siswa dalam mendapatkan pengetahuan, keterampilan, kedasaran
diri, dan penugasan perkembangan secara normal. Dalam melakukan bimbingan
klasikal guru BK diharapkan melakukannya dengan metode yang menarik dan
inovatif supaya siswa merasa antusias dan tidak jenuh salah satunya dengan
menggunakan metode role play.
Pembelajaran dengan metode role play adalah suatu cara penguasaan
bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa.
Pengembangan imajinasi dan penghayatan itu dilakukan siswa dengan memerankannya
sebagai tokoh hidup atau benda mati. Metode ini banyak melibatkan siswa dan
membuat siswa senang belajar serta metode ini mempunyai nilai tambah, yaitu dapat menjamin partisipasi seluruh siswa dan
memberi kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuannya dalam bekerjasama
hingga berhasil, permainan merupakan pengalaman yang menyenangkan bagi siswa (Prasetyo, 2001:72).
Metode role
play merupakan salah satu kegiatan bermain peran (Role playing). Sesuai
dengan namanya, teknik ini digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
Siswa atau sekelompok individu yang diberi bimbingan, sebagian diberi peran
sesuai jalan cerita yang disiapkan. Sedangkan yang lain bertindak sebagai
pengamat. Selesai permainan drama dilaksanakan juga diskusi tentang pemeranan,
jalan cerita, dan ketepatan pemecahan masalah dalam cerita tersebut (Tijan,
1993: 37). Dengan menggunakan metode yang tepat maka guru BK juga harus memilih
topic yang akan dibahas sesuai dengan isu-isu perkembangan yang dialami oleh
siswa kelas X salah satunya yaitu penyesuaian diri.
Menurut Schneider (1964) penyesuaian diri merupakan kemampuan untuk mengatasi tekanan
kebutuhan, frustasi dan kemampuan untuk mengembangkan mekanisme psikologis yang
tepat. Lingkungan baru bagi beberapa orang
merupakan sebuah stimulus bagi seseorang yang terkadang mampu menjadi penyebab
terjadinya kesulitan dalam menyesuaikan diri. Penyesuaian diri yang
dilakukan oleh siswa berbeda-beda, tidak semua siswa baru dapat menyesuaikan
diri dengan baik karena tipe-tipe kepribadian remaja yang berbeda
menimbulkan individual deferences yang membedakan pula respon remaja
terhadap lingkungan. Dapat dilihat dari sebagian siswa yang merasa tidak nyaman
dengan posisinya sebagai siswa baru di
SMA.
Hasil survey
dari Federasi Kesehatan Mental Indonesia/Fekmi (2005), menunjukkan bahwa 47,7%
remaja sering merasa cemas, 84% merasakan cemas yang berulang, 70,3% sering
berfikir yang tidak-tidak dan mengaku sering mengalami mimpi buruk, 79% remaja
mencemaskan penampilan, 31% menggunakan obat penenang, 54% mengaku pernah
berkelahi, 87% berbohong, dan 8,9% pernah mencoba narkoba. Boyke Dian (Ipah, 2005)
mengemukakan terdapat sekitar 6 - 20% para siswa SMU dan mahasiswa pernah
melakukan hubungan seks di luar nikah. Di Jakarta, pada tahun 2000 diketahui
ada lebih dari 166 SMTP dan 172 SLTA yang menjadi pusat peredaran narkotika
dengan lebih dari 2000 siswa terlibat di dalamnya. Hasil survey dan penelitian
diatas menunjukkan adanya penyesuaian diri yang menyimpang pada remaja. Semakin
maraknya problema yang dialami remaja merupakan indikasi bahwa remaja banyak
mengalamipenyesuaian diri yang menyimpang. Hal tersebut dapat menyebabkandampak
yang tidak baik pada diri remaja apabila tidak segera ditangani. Guru
BK/Konselor dapat membantu siswa yang memiliki masalah dalam penyesuaian diri.
Sebagaimana yang dipaparkan dalam Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1990 tugas
konselor atau guru pembimbing adalah membantu siswa dalam rangka menemukan
pribadi, mengenal lingkungan, dan perencanaan masa depan.
Dalam proses
penyesuaian diri, individu dapat dikatakan berhasil apabila mampu memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dalam lingkungan dengan bertindak secara wajar yang
ditandai oleh sikap tidak adanya rasa benci, mampu bertindak obyektif sesuai
dengan kondisi dirinya, serta terhindar dari kegoncangan emosi, dan
ketidakpuasan terhadap nasib yang dialami, sebaliknya individu yang gagal dalam
melakukan penyesuaian diri atau disebut penyesuaian diri yang salah akan
ditandai dengan berbagi tingkah laku yang salah, tidak terarah, emosional,
sikap yang tidak realistik dan agresif.
Berdasarkan
fakta di lapangan melalui studi pendahuluan dan wawancara kepada siswa kelas X di
SMA Negeri 15 Tangerang bentuk penyesuaian diri yang salah dilakkan oleh
sebagian besar siswa, umumnya siswa tidak mau memulai untuk berinteraksi, siswa
tidak bisa mengerti salah satu mata pelajaran karena guru yang bersangkutan
sering tidak masuk, masih banyak yang berkelompok atau “ngegenk”, beberapa
siswa sering mengganggu teman pada saat jam pelajaran, sdan selalu mau menang
sendiri. Bertolak dari rumusan latar belakang masalah di atas maka peneliti
mengambil judul penelitian “Pengaruh Metode Role Playing dalam Bimbingan
Klasikal Terhadap Penyesuaian Diri Siswa Kelas X SMA Negeri 15 Tangerang.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah-masalah
sebagai berikut:
1.
Bagaimana kondisi penyesuaian diri siswa kelas X sebelum diterapkan
metode role playing dalam bimbingan klasikal di SMA Negeri 15 Tangerang?
2.
Bagaimana proses penerapan bimbingan klasikal metode role playing dalam meningkatkan penyesuaian diri siswa
kelas X di SMA Negeri 15 Tangerang?
3.
Bagaimana Penyesuaian diri siswa kelas X SMA Negeri 15 Tangerang setelah diterapkan metode role playing dalam bimbingan klasikal?
4.
Kendala-kendala apa yang dialami guru BK/ konselor dalam menerapkan
metode role playing dalam bimbingan klasikal?
1.3. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi di
atas, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti yaitu mengenai masalah
penyesuaian diri pada siswa kelas X SMA Negeri 15 Tangerang melalui kegiatan layanan
bimbingan klasikal dengan metode sosiodrama atau role play.
1.4. Perumusan Masalah
Berdasarkan hasil pembatasan masalah di atas, maka
permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Apakah ada
pengaruh layanan bimbingan klasikal dengan metode role play terhadap
penyesuaian diri siswa kelas X SMA Negeri 15 Tangerang?
1.5. Manfaat Penelitian
- Manfaat Teoritis
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah
khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang Bimbingan dan Konseling maupun dalam bidang Pendidikan. Selain hal
tersebut, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain
dalam memperluas wawasan untuk mengkaji berbagai permasalahan yang berhubungan
dengan peingkatan penyesuaian
diri dengan metode role playing.
- Manfaat Praktis
i.
Bagi Konselor
Penelitian ini diharapakan dapat membantu
konselor dalam melakukan bimbingan klasikal terhadap siswa kelas X yang mengalami permasalahan penyesuaian diri dengan lingkungan sekolah yang
baru. Serta membantu
konselor untuk merancang suatu model atau metode pembelajaran yang inovatif dan variatif
seperti metode role playing.
ii.
Bagi Siswa
Penelitian ini diharapkan dapat berguna
sebagai bahan masukan untuk membantu siswa dalam memahami kondisi psikologis penyesuaian diri terhadap
lingkungan sekolah yang baru.
BAB II
KAJIAN
TEORI
2.1. Deskripsi Teoritis
2.1.1 Metode Role Play
Role Play merupakan
sebuah model pengajaran yang berasal dari dimensi pendidikan individu maupun
sosial. Role play dimainkan dalam beberapa rangkaian tindakan seperti
menguraikan sebuah masalah, memeragakan, dan mendiskusikan masalah tersebut.
Dalam Bimbingan klasikal role play dapat digunakan untuk membantu siswa
memahami dan menghayati masalah-masalah sosial serta mengembangkan kemampuan
untuk memecahkannya. Siswa didorong untuk mengeksplorasi masalah-masalah
tersebut dengan cara memainkan peran dalam situasi yang telah ditentukan,
secara spontan tanpa menggunakan naskah.
Metode role play memudahkan siswa untuk bekerjasama dalam menganalisis keadaan sosial, khususnya
masalah antar manusia seperti konflik interpersonal.
Bruce Joyce, dkk. Menjelaskan bahwa, salah satu masalah sosial yang dapat
ditelusuri dan dipahami dengan menggunakan metode role play adalah konflik
interpersonal. Fungsi utama role play dalam memahami konflik interpersonal
adalah memunculkan konflik antara beberapa individu, sehingga siswa dapat menemukan
teknik yang tepat untuk mengatasi konflik tersebut. Melalui metode role play,
siswa yang memerankan dapat memunculkan respon respon emosional terkait dengan
materi bimbingan dan siswa yang lain melihat secara langsung pemeranan
tersebut, sehingga mereka dapat lebih mudah memahaminya.
2.2. Kajian Teoritis
Bimbingan Klasikal
Menurut
Winkel dan Hastuti bimbingan klasikal merupakan istilah yang khusus digunakan
di institusi pendidikan sekolah dan menunjuk pada sejumlah siswa yang
dikumpulkan bersama untuk kegiatan bimbingan. Pengertian lain menyebutkan bahwa
bimbingan klasikal adalah bimbingan yang berorientasi pada kelompok siswa dalam
jumlah yang
cukup besar antara 30-40 orang siswa (satu kelas). Bimbingan klasikal dirancang
menuntut konselor untuk melakukan kontak langsung dengan peserta didik di
kelas.
Berdasarkan
definisi mengenai bimbingan klasikal yang telah disebutkan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa bimbingan klasikal merupakan kegiatan bimbingan berisi 30-40
jumlah siswa yang melakukan kontak langsung dengan konselor di dalam sebuah
kelas.
2.3. Pengertian Penyesuaian Diri
Hurlock
(1999), menyatakan bahwa
penyesuaian diri yang berhasil akan menuju pada kondisi mental yang baik dalam
arti mampu memecahkan masalahnya dengan cara realistis, menerima dengan baik
sesuatu yang tidak dapat dihindari, memahami secara objektif kekurangan orang
lain yang bekerja dengan dirinya.
Pendapat
tersebut bermakna bahwa di dalam penyesuaian terhadap kehidupan sosial,
individu melakukan kegiatan atau respon mental dan tingkah laku untuk meredakan
keteganganketegangan, tekanan, frustasi dan konflik-konflik serta menyesuaikan
diri dengan norma-norma masyarakat dimana ia tinggal, hal ini sebagai suatu
proses untuk mencapai kesuksesan dengan meningkatkan keinginan dari dalam diri
individu itu sendiri dan menitikberatkan pada tujuannya pada lingkungan dimana
ia tinggal. Penyesuaian diri
manusia
dalam kelompok berperan sesuai dengan jenis kelaminnya merupakan bagian normal
dalam proses perkembangan sehingga tidak seorangpun menganggapnya sebagai
masalah. Akibat dari proses tersebut terbentuklah stereotip jenis kelamin yang
secara tidak langsung disetujui oleh anggota kedua jenis kelamin dalam suatu
lingkungan, bergantung pada apa saja yang dihargai untuk lingkungan tersebut.
Hurlock
(1999), juga menambahkan
bahwa untuk melakukan penyesuaian yang baik bukanlah hal yang mudah. Akibatnya,
banyak individu yang kurang dapat menyesuaikan diri, kurang baik secara sosial
maupun pribadi. Perkembangan pribadi, sosial dan moral yang dimiliki seseorang
menjadi dasar untuk memandang diri dari lingkungannya di masa-masa selanjutnya.
Callhoun dan Acocella (dalam Sobur, 2003),
penyesuaian diri dapat didefinisikan sebagai interaksi individu yang kontinu
dengan diri individu sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia individu.
Kartini Kartono (2002), penyesuaian diri adalah usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri
sendiri dan pada lingkungannya. Sehingga rasa permusuhan, dengki, iri hati,
prasangka, depresi, kemarahan, dan lain-lain emosi negative sebagai respon
pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien bisa dikikis habis.
2.4. Bimbingan Klasikal Sebagai Strategi Dalam melaksanakan Layanan Dasar
Kurikulum
bimbingan (layanan dasar) merupakan salah satu komponen dalam program bimbingan
dan konseling komprehensif perkembangan. Kurikulum bimbingan merupakan
serangkaian kompetensi yang dirumuskan berdasarkan pada hasil analisis
kebutuhan dan dirancang secara sistematis serta bertahap untuk seluruh siswa.
Gysbers & Handerson(Muro & Kottman,
1995:5) mengungkapkan guidance curriculum is the core of the developmental
approach. Kurikulum bimbingan merupakan bagian utama dalam keseluruhan
program, hal ini dikarenakan kurikulum bimbingan mencakup berbagai kompetensi
yang harus dikuasai oleh seluruh peserta didik yang dapat menunjang
keberhasilan peserta didik dalam proses belajar dan kehidupannya.
Kurikulum bimbingan dalam konteks layanan
bimbingan dan konseling di Indonesia diterjemahkan dengan pelayanan dasar.
ABKIN (Dirjen PMTK, 2007:208) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan layanan
dasar adalah “ proses pemberian bantuan kepada seluruh konseli melalui kegiatan
penyiapan pengalaman terstruktur secara klasikal atau kelompok yang disajikan
secara sistematis dalam rangka mengembangkan perilaku jangka panjang sesuai
dengan tahap dan tugas-tugas perkembangan (yang dituangkan sebagai standar
kompetensi kemandirian) yang diperlukan dalam pengembangan kemampuan memilih
dan mengambil keputusan dalam menjalani keputusannya”.
Dari paparan di atas bisa diperoleh pemahaman
bahwa kurikulum bimbingan merupakan layanan yang diperuntukan kepada seluruh
siswa, proses pemberian layanan dasar dilakukan melalui proses bimbingan, hal
ini dikarenakan isi dari kurikulum bimbingan merupakan berbagai keterampilan
yang tidak bisa hanya diajarkan melalui proses pengajaran yang hanya
berorientasi pada penyerapan informasi secara kognitif. Kurikulum bimbingan
harus diberikan melalui proses bimbingan yang berorientasi membantu para
peserta didik mencapai kesuksesan.
2.5. Kerangka berpikir
Berdasarkan kajian teori di atas,
kegiatan bimbingan klasikal menggunakan metode role play dapat membuat siswa
aktif karena mereka mengalami secara langsung penyelesaian konflik melalui
pemeranan, sehingga apa yang harus dipahami tersimpan dalam memorinya. Melalui
metode ini siswa
Penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, dimana
individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam
dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan frustrasi yang dialaminya,
sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam
diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana ia tinggal.
Menurut Fromm dan Gilmore (dalam Desmita, 2009:195) ada empat aspek
kepribadian dalam penyesuaian diri yang sehat antara lain :
a. Kematangan emosional, yang mencakup
aspek-aspek :
Kemantapan
suasana kehidupan emosional, Kemantapan suasana kehidupan kebersamaan dengan orang lain, Kemampuan untuk santai, gembira dan
menyatakan kejengkelan, Sikap dan perasaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri.
b. Kematangan intelektual, yang mencakup
aspek-aspek :
Kemampuan mencapai wawasan diri sendiri, Kemampuan
memahami orang lain dan keragamannya, Kemampuan mengambil keputusan, Keterbukaan
dalam mengenal lingkungan.
c. Kematangan sosial, yang mencakup aspek-aspek
:
Keterlibatan
dalam partisipasi sosial, Kesediaan kerjasama, Kemampuan kepemimpinan, Sikap toleransi.
d. Tanggung jawab, yang mencakup aspek-aspek :
Sikap produktif dalam mengembangkan diri, Melakukan
perencanaan dan melaksanakannya secara fleksibel, Sikap empati, bersahabat dalam hubungan
interpersonal, Kesadaran akan etika dan hidup jujur.
2.6. Hipotesis
Penelitian
Berdasarkan kajian
teori dan kerangka berpikir yang telah dipaparkan diatas, maka hipotesis kerja
dalam penelitian ini adalah adanya pengaruh metode role playing terhadap
penyesuaian diri siswa kelas X SMA Negeri 15 Tangerang.
BAB III
METODE PENELITIAN
I.
Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengukur pengaruh penerapan metode Role Play
terhadap penyesuaian diri siswa kelas X SMAN 15 Tangerang.
II.
Tempat dan Waktu Penelitian
A. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA
Negeri 15 Tangerang Jl. Villa Tangerang Regensi Periuk Periuk, Periuk, Kota
Tangerang, Indonesia 15131.
B. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli s.d.
November 2014. Dimulai pada semester
ganjil tahun ajaran 2014/2015.
III.
Populasi, Sample, dan Teknik Pengambilan Sample Penelitian
A. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri
15 Tangerang yaitu sebanyak 295 orang
B. Sampel
Arikunto menjelaskan bahwa apabila jumlah populasinya lebih
dari 100 orang, maka sample yang digunakan adalah 10% - 15% dari populasi
(Suharsimi, 1994), yaitu 21-31 orang. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
peneliti menggunakan salah satu kelas X SMA Negeri 15 Tangerang sebagai subjek
dalam penelitian ini karena guru bk merekomendasikan kelas X.5 sebagai sample
penelitian peneliti.
C. Teknik Pengambilan Sampel
Untuk menentukan sampel yang aklan digunakan dalam penelitian
ini, teknik yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Menurut Sugiyono
(2010) purposive
sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan
tertentu yakni sumber data dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan,
sehingga mempermudah peneliti menjelajahi obyek atau situasi
sosial yang sedang diteliti, yang menjadi kepedulian dalam pengambilan sampel
penelitian kualitatif adalah tuntasnya pemerolehan informasi dengan keragaman
variasi yang ada, bukan pada banyak sampel sumber data.
IV.
Pendekatan dan Desain Penelitian
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Quasi Eksperimen. Desain
Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain non ekuivalent
control group desain. Karena pada desain ini kelas kontrol dan kelas eksperimen
tidak dipilih secara random (Sugiyono, 2010). Yaitu adanya perbandingan hasil
pretes dan postes antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Bagannya
dapatdigambarkan seperti berikut:
O1 X1 O2
O2 X2 O2
Keterangan
:
O1 : Pretest
O2 :Postest
XI :
Treatmen 1, yaitu meningkatkan penyesuaian diri siswa dengan metode ceramah.
X2 :
Treatmen 2, yaitu meningkatkan penyesuaian diri siswa dengan metode role
playing.
V.
Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data
tentang variable pencapain tujuan pembelajaran diperoleh dengan menggunakan
instrument. Skala pengukuran yang digunakan dalam instrument ini adalah skala
Penyesuaian diri. Format respon yang digunakan dalam instrumen penelitian ini terdiri
dari 4 alternatif jawaban yaitu selalu, seringkali, kadang-kadang, dan tidak
pernah. Untuk mempermudah menghitung hasil yang diperoleh dari skala psikologis
tersebut, maka setiap jawaban diberi skor. Jika itemnya berupa pernyataan
positif maka skor untuk jawaban selalu (SL) 4, sering (SR) 3, kadang-kadang
(KD) 2, tidak pernah (TP) 1 dan jika pernyataannya negatif maka skor untuk
jawaban selalu (SL) 1, sering (SR) 2, kadang-kadang (KD) 3, tidak pernah (TP)
4.
Keterangan:
·
Selalu (SL), apabila pernyataan tersebut selalu Anda lakukan sesuai dengan keadaan /kondisi yang Anda alami.
·
Sering (SR), apabila pernyataan tersebut sering Anda lakukan sesuai dengan
keadaan/kondisi yang Anda alami.
·
Kadang-kadang (KD), apabila pernyataan tersebut kadang-kadang
Anda lakukan sesuai dengan keadaan
/kondisi yang Anda alami.
·
Tidak pernah (TP), apabila pernyataan tersebut tidak pernah
Anda lakukan sesuai dengan keadaan
/kondisi yang Anda alami.
Adapun kisi-kisi skala
psikologis penyesuaian diri yang diambil adalah sebagai
Berikut:
Kisi
–kisi Pengembangan Instrumen
Penyesuaian
diri
Variable
|
Indikator
|
|
Penyesuaian Diri
|
1. Kestabilan Emosi
2. Rasionalitas
3. Kemampuan mengarahkan diri
4. Kemampuan menghargai
oranglain
5. Kemampuan bekerjasama
|
VI.
Uji Validitas dan Reliabilitas
1.
Validitas
Validitas adalah ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan
atau kesahihan instrumen. Rumus yang digunakan untuk menguji validitas adalah
rumus korelasi product moment angka kasar yang dikemukakan oleh Person. Teknik Product
Moment Pearson dengan bantuan aplikasi Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16.0. Untuk
menentukan valid atau tidaknya sebuah pernyataan dilakukan dengan cara
membandingkan taraf signifikansi hitung dengan tingkat kesalahan (alpha) yang
telah ditentukan, apabila taraf signifikansi hitung lebih kecil dari pada
tingkat kesalahan (alpha) maka pernyataan dianggap valid, dan apabila taraf
signifikansi hitung lebih besar dari pada tingkat kesalahan (alpha) maka
pernyataan dinyatakan tidak valid. Tingkat kesalahan (alpha) yang ditentukan
dalam pengujian validitas ini adalah sebesar 0.05
2. Reliabilitas
Reliabitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur
dipakai dua kali—untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang
diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut reliabel. Dengan kata
lain, reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam
mengukur gejala yang sama (Ancok dalam Singarimbun, 1989).
Untuk mendapatkan penilaian instrumen yang dapat dipercaya atau menyatakan ketetapan (reliabel), maka
digunakan rumus Alpha Cronbach (Sugiyono,
2009 h.257):
Dengan keterangan:
r 11
= Reliabilitas instrumen
k =
Banyaknya butir soal yang valid
Sebelum menghitung reliabilitas instrumen,
perlu diketahui jumlah varians butir soal atau
. Dihitung dengan mencari varians tiap butir soal dengan
menggunakan rumus :
Selanjutnya
untuk menghitung varian total atau
menggunakan
rumus:
Hipotesis dalam
penelitian ini diuji pada taraf signifikansi α = 0.05 atau dengan tingkat
kesalahan sebesar 5%. Kriteria uji hipotesis pada penelitian ini adalah:
H0
ditolak = nilai asymp. Sig <
Signifikansi α = 0.05
H0
diterima = nilai asymp.
Sig > Signifikansi α = 0.05
3.7. Hipotesis Statistik
Rumusan hipotesis yang akan diuji dalam
penelitian ini yaitu:
Ho: Penyesuaian diri siswa lebih
rendah atau sama dengan setelah diberikannya bimbingan kelompok dengan teknik role playing.
H1: Penyesuaian diri siswa lebih
tinggi setelah diberikannya bimbingan kelompok dengan teknik role playing.
Berdasarkan
rumusan hipotesis di atas, maka hipotesis statistik yang diuji dalam penelitian
ini yaitu:
Ho :
μ1≥μ2
H1 :
μ1< μ2
Daftar Pustaka:
·
Sukardi, Dewa Ketut.
2008. Proses Bimbingan dan konseling Di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
·
Tijan. 1993.
Bimbingan Dan Konseling Sekolah Menengah. Yogyakarta: Unit Percetakan
dan Penerbitan (UPP) UNY.
·
Survey Federasi
Kesehatan Mental Indonesia/Fekmi tahun
(2005) tentang penyesuain diri siswa.
·
Schneiders, A. (1964).
Personal Adjustment and Mental Health. New York: Rinehart & Winston.
·
Bruce joyce, marsha weil &Emily Calhoun, models of
teaching :model-model pengajaran edisi delapan terjemahan achmad fawaid
&ateilla mirza (yigyakarta, pustaka belajar, 2009).
·
W.S Winkel dan Sri Hastuti, Bimbinga
dan Konseling di Institusi Pendidikan, dikutip langsung (atau tidak
langsung) oleh Aip Badrujaman, Teori dan
Praktik Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling, Indeks, Jakarta, 2010
·
Hurlock, E. 1999. AdolescentDevelopment . New York: Mc Grow Hill
BookCompany.
·
Alex Sobur, (2003). Psikologi Umum. Bandung : Pustaka
Setia
·
Kartini Kartono, (2002). Psikologi Perkembangan. Jakarta :
Rineka Cipta
·
Sunarto dan Hartono.
2008. Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
·
Desmita, (2009). Psikologi Perkembangan. Bandung :
Remaja Rosda Karya.
·
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian
Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, KualitatifDan R&D. Alfabeta: Bandung.
·
Rusmana, Nandang (2009). Bimbingan
dan Konseling Kelompok di Sekolah (Metode, Teknik, dan Aplikasi). Bandung :
Rizqi Press.
·
Yusuf, S & Nurihsan, A.J. (2006). Landasan Bimbingan dan Konseling.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hak Cipta : Baiq Wachida Intan
Pertiwi