BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bimbingan dan konseling merupakan bagian
integral dari sekolah yang bertujuan memberikan bantuan kepada siswa baik perorangan
maupun kelompok agar menjadi pribadi yang mandiri dan berkembang secara optimal
(Sukardi, 2008). Penggunaan layanan bimbingan konseling memiliki fungsi yang
mempunyai hubungan dan pengaruh yang sangat besar bagi para siswa, baik dari sikap
maupun akademiknya (Yusuf dan Nurihsan, 2006). Di samping sebagai penyemangat bagi
para murid, penggunaan layanan bimbingan konseling juga bisa menjadi tempat mengadunya
para murid atau tempat konsultasi ketika murid sedang menghadapi masalah atau
problem dalam belajar.
Salah satu bentuk layanan dalam
bimbingan dan konseling yaitu bimbingan klasikal yang merupakan proses
pemberian bantuan kepada seluruh siswa melalui kegiatan penyiapan pengalaman
terstruktur secara klasikal yang disajikan secara sistematis. Pemberian layanan
ini berfokus pada pencegahan, dengan menekankan kepada penguasaan siswa akan
tugas perkembangannya sehingga dapat diartikan bahwa setelah menerima layanan
ini, diharapkan siswa dapat menjalankan tugas perkembangannya dengan baik dalam
mengatasi permasalahan yang timbul dalam menjalankan peran kehidupannya dalam
keluarga dan masyarakat. Studi yang dilakukan oleh Myrick R.D bahwa layanan
bimbingan kalsikal yang disusun berdasarkan teori perkembangan manusia membantu
siswa dalam mendapatkan pengetahuan, keterampilan, kedasaran diri, dan
penugasan perkembangan secara normal. Dalam melakukan bimbingan klasikal guru
BK diharapkan melakukannya dengan metode yang menarik dan inovatif supaya siswa
merasa antusias dan tidak jenuh salah satunya dengan menggunakan metode role play.
Pembelajaran dengan metode role play adalah suatu cara penguasaan
bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa.
Pengembangan imajinasi dan penghayatan itu dilakukan siswa dengan memerankannya
sebagai tokoh hidup atau benda mati. Metode ini banyak melibatkan siswa dan
membuat siswa senang belajar serta metode ini mempunyai nilai tambah, yaitu dapat menjamin partisipasi seluruh siswa dan
memberi kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuannya dalam bekerjasama
hingga berhasil, permainan merupakan pengalaman yang menyenangkan bagi siswa (Prasetyo, 2001:72).
Metode role
play merupakan salah satu kegiatan bermain peran (Role playing). Sesuai
dengan namanya, teknik ini digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
Siswa atau sekelompok individu yang diberi bimbingan, sebagian diberi peran
sesuai jalan cerita yang disiapkan. Sedangkan yang lain bertindak sebagai
pengamat. Selesai permainan drama dilaksanakan juga diskusi tentang pemeranan,
jalan cerita, dan ketepatan pemecahan masalah dalam cerita tersebut (Tijan,
1993: 37). Dengan menggunakan metode yang tepat maka guru BK juga harus memilih
topic yang akan dibahas sesuai dengan isu-isu perkembangan yang dialami oleh
siswa kelas X salah satunya yaitu penyesuaian diri.
Menurut Schneider (1964) penyesuaian diri merupakan kemampuan untuk mengatasi tekanan
kebutuhan, frustasi dan kemampuan untuk mengembangkan mekanisme psikologis yang
tepat. Lingkungan baru bagi beberapa orang
merupakan sebuah stimulus bagi seseorang yang terkadang mampu menjadi penyebab
terjadinya kesulitan dalam menyesuaikan diri. Penyesuaian diri yang
dilakukan oleh siswa berbeda-beda, tidak semua siswa baru dapat menyesuaikan
diri dengan baik karena tipe-tipe kepribadian remaja yang berbeda
menimbulkan individual deferences yang membedakan pula respon remaja
terhadap lingkungan. Dapat dilihat dari sebagian siswa yang merasa tidak nyaman
dengan posisinya sebagai siswa baru di
SMA.
Hal ini kemudian menimbulkan
berbagai hambatan dalam penyesuaian diri serta sosialisasi dengan lingkungan
baru. Seperti kesulitan dalam memilih teman baru, tidak cocok dengan lingkungan
dan teman baru di kelas dan penyesuaian lingkungan
belajar yang berbeda. Setiap individu melakukan
penyesuaian-penyesuaian dalam setiap tahap perkembangannya. Pada tahap remaja
individu mengalami perubahan yang hebat karena merupakan masa peralihan dari
anak-anak menuju dewasa, khususnya pada awal pubertas atau remaja awal.
Perubahan itu meliputi perubahan jasmani, kepribadian, intelek serta peranan di
dalam maupun di luar lingkungan. Penyesuaian diri merupakan salah satu
persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan jiwa dan mental individu. Banyak
individu yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya,
karena ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri, baik dengan kehidupan
keluarga, sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat pada umumnya. Tidak jarang
pula ditemui bahwa orang-orang mengalami stres dan depresi disebabkan oleh
kegagalan mereka untuk melakukan penyesuaian diri dengan kondisi yang penuh
tekanan.Penyesuaian diri adalah proses dinamis yang bertujuan merubah tingkah
laku individu agar terjadi hubungan yang sesuai antara dirinya dan lingkungan
sosialnya yang dilakukan secara timbal balik baik fisik dan psikis.
Hasil survey
dari Federasi Kesehatan Mental Indonesia/Fekmi (2005), menunjukkan bahwa 47,7%
remaja sering merasa cemas, 84% merasakan cemas yang berulang, 70,3% sering
berfikir yang tidak-tidak dan mengaku sering mengalami mimpi buruk, 79% remaja
mencemaskan penampilan, 31% menggunakan obat penenang, 54% mengaku pernah
berkelahi, 87% berbohong, dan 8,9% pernah mencoba narkoba. Boyke Dian (Ipah, 2005)
mengemukakan terdapat sekitar 6 - 20% para siswa SMU dan mahasiswa pernah
melakukan hubungan seks di luar nikah. Di Jakarta, pada tahun 2000 diketahui
ada lebih dari 166 SMTP dan 172 SLTA yang menjadi pusat peredaran narkotika
dengan lebih dari 2000 siswa terlibat di dalamnya. Hasil survey dan penelitian
diatas menunjukkan adanya penyesuaian diri yang menyimpang pada remaja. Semakin
maraknya problema yang dialami remaja merupakan indikasi bahwa remaja banyak
mengalamipenyesuaian diri yang menyimpang. Hal tersebut dapat menyebabkandampak
yang tidak baik pada diri remaja apabila tidak segera ditangani. Guru
BK/Konselor dapat membantu siswa yang memiliki masalah dalam penyesuaian diri.
Sebagaimana yang dipaparkan dalam Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1990 tugas
konselor atau guru pembimbing adalah membantu siswa dalam rangka menemukan
pribadi, mengenal lingkungan, dan perencanaan masa depan.
Dalam proses
penyesuaian diri, individu dapat dikatakan berhasil apabila mampu memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dalam lingkungan dengan bertindak secara wajar yang
ditandai oleh sikap tidak adanya rasa benci, mampu bertindak obyektif sesuai
dengan kondisi dirinya, serta terhindar dari kegoncangan emosi, dan
ketidakpuasan terhadap nasib yang dialami, sebaliknya individu yang gagal dalam
melakukan penyesuaian diri atau disebut penyesuaian diri yang salah akan
ditandai dengan berbagi tingkah laku yang salah, tidak terarah, emosional,
sikap yang tidak realistik dan agresif.
Begitu pula halnya dengan siswa yang baru mengenal
lingkungan di Sekolah Menengah Atas, dimana lingkungan ini
memiliki karakteristik yang berbeda dengan Sekolah Menengah Pertama. Untuk menghadapi
lingkungan baru ini, siswa membutuhkan kepercayaan
diri dan kemampuan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Sehingga
dengan modal tersebut, seseorang dapat beraktivitas dalam menjalankan
tugas-tugas di SMA dengan baik. Transisi dari siswa SMP
menjadi siswa SMA, memperoleh temanbaru,
berada di lingkungan yang baru. Suatu perubahan mendasar yang tiba-tiba yaitu
lingkungan baru, teman baru dari berbagai kalangan bervariasi. Hal ini akan sangat
berpengaruh dengan penyesuaian diri siswa.
Berdasarkan
fakta di lapangan melalui studi pendahuluan dan wawancara kepada siswa kelas X di
SMA Negeri 15 Tangerang bentuk penyesuaian diri yang salah dilakkan oleh
sebagian besar siswa, umumnya siswa tidak mau memulai untuk berinteraksi, siswa
tidak bisa mengerti salah satu mata pelajaran karena guru yang bersangkutan
sering tidak masuk, masih banyak yang berkelompok atau “ngegenk”, beberapa
siswa sering mengganggu teman pada saat jam pelajaran, sdan selalu mau menang
sendiri. Bertolak dari rumusan latar belakang masalah di atas maka peneliti
mengambil judul penelitian “Pengaruh Metode Role Playing dalam Bimbingan
Klasikal Terhadap Penyesuaian Diri Siswa Kelas X SMA Negeri 15 Tangerang.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah-masalah
sebagai berikut:
1.
Bagaimana kondisi penyesuaian diri siswa kelas X sebelum diterapkan
metode role playing dalam bimbingan klasikal di SMA Negeri 15 Tangerang?
2.
Bagaimana proses penerapan bimbingan klasikal metode role playing dalam meningkatkan penyesuaian diri siswa
kelas X di SMA Negeri 15 Tangerang?
3.
Bagaimana Penyesuaian diri siswa kelas X SMA Negeri 15 Tangerang setelah diterapkan metode role playing dalam bimbingan klasikal?
4.
Kendala-kendala apa yang dialami guru BK/ konselor dalam menerapkan
metode role playing dalam bimbingan klasikal?
1.3. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi di
atas, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti yaitu mengenai masalah
penyesuaian diri pada siswa kelas X SMA Negeri 15 Tangerang melalui kegiatan layanan
bimbingan klasikal dengan metode sosiodrama atau role play.
1.4. Perumusan Masalah
Berdasarkan hasil pembatasan masalah di atas, maka
permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Apakah ada
pengaruh layanan bimbingan klasikal dengan metode role play terhadap
penyesuaian diri siswa kelas X SMA Negeri 15 Tangerang?
1.5. Manfaat Penelitian
- Manfaat Teoritis
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah
khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang Bimbingan dan Konseling maupun dalam bidang Pendidikan. Selain hal
tersebut, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain
dalam memperluas wawasan untuk mengkaji berbagai permasalahan yang berhubungan
dengan peingkatan penyesuaian
diri dengan metode role playing.
- Manfaat Praktis
i.
Bagi Konselor
Penelitian ini diharapakan dapat membantu
konselor dalam melakukan bimbingan klasikal terhadap siswa kelas X yang mengalami permasalahan penyesuaian diri dengan lingkungan sekolah yang
baru. Serta membantu
konselor untuk merancang suatu model atau metode pembelajaran yang inovatif dan variatif
seperti metode role playing.
ii.
Bagi Siswa
Penelitian ini diharapkan dapat berguna
sebagai bahan masukan untuk membantu siswa dalam memahami kondisi psikologis penyesuaian diri terhadap
lingkungan sekolah yang baru.
BAB II
KAJIAN
TEORI
2.1. Deskripsi Teoritis
2.1.1 Metode Role Play
a.
Definisi Metode Role Play
Role Play merupakan
sebuah model pengajaran yang berasal dari dimensi pendidikan individu maupun
sosial. Role play dimainkan dalam beberapa rangkaian tindakan seperti
menguraikan sebuah masalah, memeragakan, dan mendiskusikan masalah tersebut.
Dalam Bimbingan klasikal role play dapat digunakan untuk membantu siswa
memahami dan menghayati masalah-masalah sosial serta mengembangkan kemampuan
untuk memecahkannya. Siswa didorong untuk mengeksplorasi masalah-masalah
tersebut dengan cara memainkan peran dalam situasi yang telah ditentukan,
secara spontan tanpa menggunakan naskah.
Metode role play memudahkan siswa untuk bekerjasama dalam menganalisis keadaan sosial, khususnya
masalah antar manusia seperti konflik interpersonal.
Bruce Joyce, dkk. Menjelaskan bahwa, salah satu masalah sosial yang dapat
ditelusuri dan dipahami dengan menggunakan metode role play adalah konflik
interpersonal. Fungsi utama role play dalam memahami konflik interpersonal
adalah memunculkan konflik antara beberapa individu, sehingga siswa dapat menemukan
teknik yang tepat untuk mengatasi konflik tersebut. Melalui metode role play,
siswa yang memerankan dapat memunculkan respon respon emosional terkait dengan
materi bimbingan dan siswa yang lain melihat secara langsung pemeranan
tersebut, sehingga mereka dapat lebih mudah memahaminya.
Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa, metode role play
merupakan metode yang dapat mendorong para siswa untuk memerankan,
mendramatisasikan, dan melihat secara langsung situasi yang terkait dengan
masalah-masalah sosial seperti konflik interpersonal, tanpa menggunakan naskah
tertulis untuk kemudian mendiskusikan masalah-masalah tersebut. Metode ini
membantu siswa untuk lebih memahami materi bimbingan karena dalam prosesnya
mereka terlibat dan melihat secara langsung bagaimana permasalahan sosial
seperti konflik interpersonal diselesaikan.
b.
Tujuan Metode Role Play
Tujuan yang diharapkan
dengan penggunaan metode role play antara lain adalah : (a). mengeksplorasi
perasaan siswa, (b). mentransfer dan mewujudkan pendangan mengenai perilaku,
nilai, dan persepsi siswa, (c). mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan tingkah
laku, (d). mengeksplorasi materi pelajaran dengan cara yang berbeda. Role play
dapat menggambarkan perasaan siswa, baik perasaan yang hanya dipikirkan maupun
perasaan yang diekspresikan. Siswa yang melakukan role play menempatkan dirinya
dalam posisi orang lain, dan mencoba berinteraksi dengan siswa lain yang juga
bertugas memerankan. Melalui metode ini, siswa mempelajari watak oranglain,
cara berhubungan dengan oranglain, dan cara memecahkan masalah yang ada.
Siswa menyalurkan
pemahaman dan persepsi mereka terhadap materi bimbingan dengan cara
memerankannya. Begitu pula dengan para siswa yang bertugas sebagai pengamat,
mereka mendapatkan contoh secara langsung dari role play yang dilakukan oleh
teman-temannya. Kegiatan ini dapat mengeksplorasi materin bimbingan secara
langsung melalui cara yang tidak membosankan, karena melibatkan siswa secara
aktif dalam proses bimbingan klasikal. Diskusi yang dilakukan setelah pemeranan
berakhir juga mendorong siswa untuk mengutarakan pendapatnya dan menyamakan pemahaman
mereka, terkait dengan materi bimbingan, dengan para siswa yang lain.
c.
Langkah – langka Metode Role Play
Petunjuk atau
langkah-langkah dalam menggunakan metode role play adalah menghangatkan situasi
kelas, memilih partisipan, mempersiapkan pentas, menyiapkan pengamat,
memerankan, diskusi dan evaluasi, memerankan kembali, diskusi dan evaluasi,
berbagi dan mengembangkan pengalaman.
Tahap pertama
menghangatkan situasi kelas. Kegiatan yang dilakukan adalah mengidentifikasi
atau memperkenalkan masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan masalah dalam
cerita, dan menelusuri isu, serta menjelaskan role play. Peneliti memancing
sensitivitas kelompok dengan menyajikan sebuah masalah dan menciptakan suasana yang bersahabat, sehingga siswa
merasakan bahwa semua pandangan, perasaan, dan tingkah laku dapat diungkapkan
tanpa merasa takut atau malu. Selanjutnya, peneliti menjelaskan masalah melalui
ilustrasi yang diambil dari film, televise, atau contoh kasus sehari-hari.
Setelah itu, peneliti mengajukan pertanyaan yang membuat siswa berpikir dan
memperkirakan akhir dan cerita atau masalah yang telah disampaikan.
Tahap kedua adalah
memilih partisipan. Kegiatannya adalah menganalisis dan memilih pemain peran.
Peneliti memilih pemain peran dengan karakter yang berbeda-beda, sesuai dengan
peran yang akan dimainkan. Pemilihan peran dapat dilakukan dengan cara meminta
siswa menjadi sukarelawan atau dengan memilih siswa secara langsung di kelas.
Pada tahap ketiga, peneliti mempersiapkan pentas, seperti menegaskan peran-peran
yang akan dimainkan. Siswa-siswa yang akan memainkan peran merangkum situasi
yang diberikan peneliti namun tidak perlu mempersiapkan dialog khusus. Pada
tahap ini peneliti memberikan kesempatan bagi siswa-siswa tersebut untuk
mendiskusikan perkiraan adegan yang akan diperankan.
Tahap keempat adalah
mempersiapkan pengamat, yaitu para siswa lain yang tidak bermain peran.
Kegiatan ini dilakukan dengan mempersiapkan hal-hal yang harus diamati dan
diperhatikan untuk didiskusikan pada akhir role play. Pengamat harus terlibat
aktif dalam memperhatikan, sehingga mereka dapat menganalisis kegiatan
pemeranan yang dilakukan oleh siswa-siswa yang bermain peran. Pada tahap
kelima, para siswa mulai memainkan perannya masing-masing secara spontan sesuai
situasi yang telah disampaikan peneliti. Setelah role play mencapai puncaknya,
peneliti menghentikan siswa yang bermain peran dan beralih pada tahap keenam
untuk mendiskusikan dan mengevaluasi kegiatan yang telah berlangsung.
Jika diskusi yang
dilakukan setelah pemeranan tidak mampu memberi pemahaman kepada siswa mengenai
kejadian atau peran tertentu, maka peneliti dapat meminta reka ulang adegan
yaitu pada tahap ketujuh. Tujuan dari pemeranan pertama adalah untuk menetapkan
kejadian atau peran, sedangkan pemeranan yang kedua dimaksudkan agar dapat
diperiksa, dianalisis, dan dikerjakan ulang. Jika siswa sudah memahami peran
yang dimainkan, maka tahap ketujuh ini tidak perlu dilakukan. Pada tahap yang
terakhir, siswa dan peneliti saling berbagi dan mengembangkan pengalaman.
Kegiatan ini dilakukan dengan menghubungkan situasi permasalahan dengan
pengalaman yang sebenernya terjadi.
d.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Role Play
Metode role play memiliki
beberapa kelebihan dan kelemahan dalam praktiknya, berikut penjelasannya:
1)
Kelebihan metode role play
(a) dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa, serta
merupakan pengalaman yang menyenagkan bagi siswa, (b) siswa akan terlatih untuk
berinisiatif dan kreatif, (c) sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan
kelas menjadi dinamis dan penuh antusias, (d) membangkitkan gairah dan semangat
optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan
kesetiakawanan sosial yang tinggi, (e) dapat menghayati peristiwa yang
berlangsung dengan mudah, dan dapat memetik butir-butir hikmah yang terkandung
di dalamnya dengan penghayatan siswa sendiri, (f) dimungkinkan dapat
meningkatkan kemampuan professional siswa, dan dapat menumbuhkan / membuka
kesempatan bagi lapangan kerja.
2)
Kelemahan metode role play
(a)
jika siswa tidak dipersiapkan secara baik ada kemungkinan tidak akan melakukan
secara sungguh-sungguh, (b) role play mungkin tidak akan berjalan dengan baik
jika suasana kelas tidak mendukung, (c) role play tidak selamanya menuju arah
yang diharapkan seseorang yang memainkannya, bahkan juga mungkin akan
berlawanan denga apa yang diharapkan, (d) siswa sering mengalami kesulitan
untuk memerankan peran secara baik, khususnya jika mereka tidak diarahkan atau
tidak ditugasi dengan baik, (e) siswa perlu mengenal dengan baik apa yang
diperankannya, sehingga membutuhkan waktu yang banyak, (f) diperlukan kelompok
yang sensitive, imajinatif, terbuka, saling mengenal hingga bekerjasama dengan
baik.
Metode role play dapat membuat siswa menjadi aktif dan
mengalami langsung situasi konflik interpersonal, sehingga siswa dapat memiliki
pemahaman mendalam terkait dengan penyelesaian konflik tersebut. Tetapi,
pengelolaan yang kurang baik dari pelaksanaan metode ini, dapat menghilangkan
tujuan awal bimbingan. Selain itu, faktor psikologis seperti rasa malu dan
takut juga dapat menghambat pelaksanaan role play.
2.2. Kajian Teoritis
Bimbingan Klasikal
2.2.1. Definisi Bimbingan
Klasikal
Menurut
Winkel dan Hastuti bimbingan klasikal merupakan istilah yang khusus digunakan
di institusi pendidikan sekolah dan menunjuk pada sejumlah siswa yang
dikumpulkan bersama untuk kegiatan bimbingan. Pengertian lain menyebutkan bahwa
bimbingan klasikal adalah bimbingan yang berorientasi pada kelompok siswa dalam
jumlah yang
cukup besar antara 30-40 orang siswa (satu kelas). Bimbingan klasikal dirancang
menuntut konselor untuk melakukan kontak langsung dengan peserta didik di
kelas.
Berdasarkan
definisi mengenai bimbingan klasikal yang telah disebutkan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa bimbingan klasikal merupakan kegiatan bimbingan berisi 30-40
jumlah siswa yang melakukan kontak langsung dengan konselor di dalam sebuah
kelas.
1.
Tujuan
Bimbingan Klasikal
Tujuan
pemberian layanan bimbingan di sekolah yaitu untuk membantu siswa agar memperoleh
perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat dan memperoleh
keterampilan dasar hidupnya atau dengan kata lain membantu siswa mencapai
tugas-tugas perkembangannya.
2.
Kelebihan
Bimbingan Kalasikal
Keguanaan dari bimbingan klasikal memang
besar sekali; dapat dikemukakakn antara lain:
1)
Tenaga pembimbinga
masih sangat terbatas dan jumlah murid yang perlu dibimbing begitu banyak,
sehingga pelayanan bimbingan secara perseorangan tidak akan merata. Kesukaran
ini agak dapat diatasi dengan memberikan bimbingan kelompok.
2)
Melalui
bimbingankelompok murid dilatih dalam menghadapi suatu tugas bersama atau
memecahkan suatu problem bersama. Dengan demikian murid sedikit banyak dididik
untuk hidup secara berkelompok.
3)
Dalam mendiskusikan
sesuatu bersama murid didorong untuk berani mengemukakakn pendapatnya dan
menghargai pendapat orang lain. Selain itu beberapa murid akan lebih berani
membicarakan kesukarannya dengan konselor setelah mereka mengerti bahwa
teman-temannya juga mengalami kesukaran itu.
4)
Banyak informasi yang
dibutuhkan murid dapat diberikan secara kelompok; cara ini lebih ekonomis
5)
Melalui bimbingan
kelompok beberapa murid menjadi lebih sadar, bahwa mereka sebaiknya menghadap
konselor untuk mendapat bimbingan secara lebih mendalam.
6)
Melalui bimbingan kelompok
seorang ahli bimbingan yang baru saja diangkat dapat memperkenalkan diri dan
berusaha mendapat kepercayaan dari murid.
3.
Bidang
Bimbingan
Bidang
bimbingan terbagidalam empat bidang yang masing-masing memiliki penekanan
khusus. Bidang bimbingan tersebut adalah bidang bimbingan pribadi, bidang
bimbingan sosial, bidang bimbingan karir, bidang bimbingan belajar. Pokok-pokok
masing-masing bidang diuraikan sebagai berikut.
1)
Bidang Bimbingan
Pribadi
Bidang
bimbingan pribadi bertujuan membantu siswa mengenal, menemukan, dan
mengembangkan pribadi yang beriman dan bertakwa kepada tuhan , mandiri, serta
sehat jasmani dan rohani.
2)
Bidang Bimbingan Sosial
Bidang
bimbingan sosial bertujuan untuk membantu siswa memahami diri dalam kaitannya
dengan lingkungan dan etika pergaulan sosial yang dilandasi budi pekerti luhur
dan tanggung jawab sosial.
3)
Bidang Bimbingan
Belajar
Bidang
bimbingan belajar bertujuan untuk membantu siswa mengenal, menumbuhkan dan
mengambangkan diri, sikap, dan kebiasaaan belajar yang baik untuk mneguasai
pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan program belajar dalam rangka
menyiapkan diri melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan atau berperan
dalam masyarakat.
4)
Bidang Bimbingan Kariri
Bidang
bimbingan karir bertujuan membantu siswa mengenal potensi diri sebagai syarat
dalam menyiapkan karir masing-masing.
2.3. Pengertian Penyesuaian Diri
Schneiders
(1964) mengungkapkan penyesuaian diri adalah kemampuan atau kapasitas individu
untuk bereaksi secara efektif terhadap kenyataan, situasi dan hubungan sosial
untuk mencapai kehidupan social yang memuaskan. Penyesuaian diri mempunyai
ciri-ciri tertentu yaitu adanya motif yang melatarbelakangi munculnya perilaku,
ada rintangan dari lingkungan yang menghambat, respon yang muncul pada
masing-masing individu bervariasi dan berakhir dengan penemuan suatu pemecahan.
Pengertian yang terkandung di dalamnya antara lain merupakan usaha manusia
untuk mengurangi tekanan akibat dorongan kebutuhan dan usaha untuk
menyelaraskan hubungan undividu dengan realitas. Dalam arti yang lebih sempit
ditekankan pada penyesuaian diri sebagai proses melibatkan respon mental dan
perilaku manusia dalam usahanya mengatasi dorongan-dorongan dari dalam diri
agar diperoleh kesesuaian antar tuntutan dari dalam dan dari lingkungan. Ini
berarti bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan
kondisi yang statis.
Schneiders, 1964 berpendapat “social
adjustment signifies the capacity to react evvectively and wholesomely to
social realities,situations so that the requirements for social living are
fulfilled in a acceptable angsatisfactory manner”.
Pendapat
tersebut bermakna bahwa di dalam penyesuaian sosial menandakan kapasitas untuk
memberi reaksi yang efektif dan bermanfaat dalam kenyataan sosial, situasi
sebagai syarat pemenuhan kehidupan sosial dan dapat diterima sebagai sikap yang
nyaman. (Schneiders, 1964) Interaksi yang diadakan individu dalam
kehidupan sosial senantiasa harus melihat kondisi lingkungannya untuk dapat
melakukan penyesuaian seperti yang dikemukakan oleh Schneiders (1964) berikut :
“A process involving
both mental and behavioral responses, by which an individual strives to cope
successfully with inner needs, tensions, frustrations, and conflict, and to
degree of harmony between these inner demands and those imposed on him by the
objective world in which he lives”.
Pendapat
tersebut bermakna bahwa di dalam penyesuaian terhadap kehidupan sosial,
individu melakukan kegiatan atau respon mental dan tingkah laku untuk meredakan
keteganganketegangan, tekanan, frustasi dan konflik-konflik serta menyesuaikan
diri dengan norma-norma masyarakat dimana ia tinggal, hal ini sebagai suatu
proses untuk mencapai kesuksesan dengan meningkatkan keinginan dari dalam diri
individu itu sendiri dan menitikberatkan pada tujuannya pada lingkungan dimana
ia tinggal.
Hurlock
(1999), menyatakan bahwa
penyesuaian diri yang berhasil akan menuju pada kondisi mental yang baik dalam
arti mampu memecahkan masalahnya dengan cara realistis, menerima dengan baik
sesuatu yang tidak dapat dihindari, memahami secara objektif kekurangan orang
lain yang bekerja dengan dirinya.
Pendapat
tersebut bermakna bahwa di dalam penyesuaian terhadap kehidupan sosial,
individu melakukan kegiatan atau respon mental dan tingkah laku untuk meredakan
keteganganketegangan, tekanan, frustasi dan konflik-konflik serta menyesuaikan
diri dengan norma-norma masyarakat dimana ia tinggal, hal ini sebagai suatu
proses untuk mencapai kesuksesan dengan meningkatkan keinginan dari dalam diri
individu itu sendiri dan menitikberatkan pada tujuannya pada lingkungan dimana
ia tinggal. Penyesuaian diri
manusia
dalam kelompok berperan sesuai dengan jenis kelaminnya merupakan bagian normal
dalam proses perkembangan sehingga tidak seorangpun menganggapnya sebagai
masalah. Akibat dari proses tersebut terbentuklah stereotip jenis kelamin yang
secara tidak langsung disetujui oleh anggota kedua jenis kelamin dalam suatu
lingkungan, bergantung pada apa saja yang dihargai untuk lingkungan tersebut.
Hurlock
(1999), juga menambahkan
bahwa untuk melakukan penyesuaian yang baik bukanlah hal yang mudah. Akibatnya,
banyak individu yang kurang dapat menyesuaikan diri, kurang baik secara sosial
maupun pribadi. Perkembangan pribadi, sosial dan moral yang dimiliki seseorang
menjadi dasar untuk memandang diri dari lingkungannya di masa-masa selanjutnya.
Callhoun dan Acocella (dalam Sobur, 2003),
penyesuaian diri dapat didefinisikan sebagai interaksi individu yang kontinu
dengan diri individu sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia individu.
Kartini Kartono (2002), penyesuaian diri adalah usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri
sendiri dan pada lingkungannya. Sehingga rasa permusuhan, dengki, iri hati,
prasangka, depresi, kemarahan, dan lain-lain emosi negative sebagai respon
pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien bisa dikikis habis.
Dari
berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud penyesuaian
diri adalah kemampuan atau kapasitas individu untuk bereaksi secara efektif
terhadap kenyataan, situasi, dan hubungan sosial untuk mencapai kehidupan
sosial yang memuaskan. Dalam melakukan penyesuaian diri, seorang individu akan
menjalin hubungan dengan lingkungan masyarakat yang merupakan sifat dan
kebutuhan manusia. Dalam hubungan sosial ini, antar individu akan saling mempengaruhi
sehingga setiap individu akan menerima nilai-nilai dan mengadakan penyesuaian
diri yang tepat agar mampu menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial yang
berlaku.
2.3.1. Karakteristik Penyesuaian Diri
Tidak
selamanya individu berhasil melakukan penyesuaian diri, karena terkadang ada
rintangan-rintangan tertentu yang menyebabkan tidak berhasil melakukan
penyesuaian diri. Ada individu – individu yang mampu melakukan penyesuaian diri
secara positif, namun ada pula individu-individu yang melakukan penyesuaian
diri yang salah (Sunarto & Hartono, 2008).
a.
Penyesuaian diri secara positif
Individu
yang mampu melakukan penyesuaian diri secara positif ditandai hal-hal sebagai berikut
(Sunarto & Hartono, 2008) :
1.
Tidak menunjukan adanya ketegangan emosional.
2.
Tidak menunjukan adanya mekanisme – mekanisme psikologis.
3.
Tidak menunjukan adanya frustasi pribadi.
4.
Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri.
5.
Mampu dalam belajar.
6.
Menghargai pengalaman.
7.
Bersikap realistic dan objektif.
b.
Penyesuaian diri yang salah
Kegaglan
dalam melakukan penyesuaian diri secara positif, dapat mengakibatkan individu
melakukan penyesuaian yang salah, yang ditandai dengan berbagai bentuk tingkah
laku yang serba salah, tidak terarah, emosional, sikap yang tidak realistik, agresif,
dan sebagainya. Ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah, yaitu
(Sunarto & Hartono, 2008) :
1)
Reaksi bertahan (defence reaction), yaitu individu berusaha untuk
memepertahankan dirinya, seolah-olah tidak mengahadapi kegagalan dan selalu berusaha
untuk menunjukan dirinya tidak mengalami kegagalan dengan melakukan
rasionalisasi, represi, proyeksi, dan sebagainya.
2)
Reaksi menyerang (aggressive reaction), yaitu menyerang untuk menutupi
kesalahan dan tidak mau menyadari kegagalan, yang tampak dalam perilaku selalu
membenarkan diri sendiri, mau berkuasa dalam setiap situasi, keras kepala dalam
perbuatan, menggertak, baik dengan ucapan dan perbuatan, menunjukkan sikap
permusuhan secara terbuka, dan sebagainya.
3)
Reaksi melarikan diri, yaitu melarikan diri dari situasi yang
menimbulkan kegagalannya, yang tampak dalam perilaku berfantasi, banyak tidur,
minum-minuman keras, bunuh diri, regresi, dan sebagainya.
2.3.2. Proses Penyesuaian Diri
Menurut
Schneiders (1964), proses penyesuaian diri setidaknya melibatkan tiga unsur,
yaitu:
a) Motivasi
Faktor
motivasi dapat diartikan sebagai kunci untuk memahami proses penyesuaian diri.
Motivasi, sama halnya dengan kebutuhan, perasaan, dan emosi merupakan kekuatan
internal yang menyebabkan ketegangan dan ketidakseimbangan dalam organism.
Ketegangan dan ketidakseimbangan memberikan pengaruh kepada kekacauan perasaan
patologis dan emosi yang emosi yang berlebihan dan kegagalan mengenal pemuasan
kebutuhan secara sehat karena mengalami frustasi dan konflik.
b) Sikap terhadap realitas
Berbagai
aspek penyesuaian diri ditentukan oleh sikap dan cara individu bereaksi
terhadap manusia disekitarnya, benda-benda, dan hubungan-hubungan yang
membentuk realitas. Beberapa perilaku seperti sikap antisocial, kurang berminat
terhadap hiburan, sikap bermusuhan, kenakalan dan semaunya sendiri, semua itu
dianggap sangat mengganggu hubungan antara penyesuaian diri dengan realitas.
c) Pola dasar penyesuaian diri
Terdapat
suatu pola dasar penyesuaian diri dalam penyesuaian diri individu sehari-hari.
Individu berusaha mencari kegiatan yang dapat mengurangi ketegangan yang
ditimbulkan sebagai akibat tidak terpenuhi atau terhambatnya kebutuhan
individu.
2.3.4. Aspek-aspek Penyesuaian Diri
Menurut Fromm dan Gilmore (dalam Desmita,
2009) ada empat aspek kepribadian dalam penyesuaian diri yang sehat antara lain
:
a. Kematangan emosional, yang mencakup
aspek-aspek :
1. Kemantapan suasana kehidupan emosional
2. Kemantapan suasana kehidupan kebersamaan
dengan orang lain
3. Kemampuan untuk santai, gembira dan
menyatakan kejengkelan
4. Sikap dan perasaan terhadap kemampuan dan
kenyataan diri sendiri
b. Kematangan intelektual, yang mencakup
aspek-aspek :
1. Kemampuan mencapai wawasan diri sendiri
2. Kemampuan memahami orang lain dan
keragamannya
3. Kemampuan mengambil keputusan
4. Keterbukaan dalam mengenal lingkungan
c. Kematangan sosial, yang mencakup aspek-aspek
:
1. Keterlibatan dalam partisipasi sosial
2. Kesediaan kerjasama
3. Kemampuan kepemimpinan
4. Sikap toleransi
d. Tanggung jawab, yang mencakup aspek-aspek :
1. Sikap produktif dalam mengembangkan diri
2. Melakukan perencanaan dan melaksanakannya
secara fleksibel
3. Sikap empati, bersahabat dalam hubungan
interpersonal
4. Kesadaran akan etika dan hidup jujur.
2.3.5. Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Proses Penyesuain Diri
Menurut
Schneiders (dalam Sobur, 2003), faktor-faktor yang mempengaruhi proses
penyesuaian diri adalah:
1. Kondisi Fisik
Aspek-aspek
berkaitan dengan kondisi fisik yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri adalah:
·
Hereditas dan Konstitusi fisik
Temperamen
merupakan komponen utama karena temperamen itu muncul, karakteristik yang
paling dasar dari kepribadian, khususnya dalam memandang hubungan emosi dengan
penyesuaian diri.
·
Sistem utama tubuh
sistem
syaraf, kelenjar dan otot termasuk ke dalam sistem utama tubuh yang memiliki
pengaruh terhadap penyesuaian diri.
·
Kesehatan fisik
Penyesuaian
diri individu akan lebih mudah dilakukan dan dipelihara dalam kondisi fisik
yang sehat daripada yang tidak sehat. Kondisi fisik yang sehat dapat
menimbulkan penerimaan diri, percaya diri, harga diri, dan sejenisnya yang akan
menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi proses penyesuain diri.
2. Kepribadian
Unsur-unsur kepribadian yang penting pengaruhnya terhadap penyesuaian diri adalah:
Unsur-unsur kepribadian yang penting pengaruhnya terhadap penyesuaian diri adalah:
·
Kemauan dan kemampuan untuk berubah.
·
Pengaturan diri.
·
Realisasi diri.
·
Kecerdasan.
3. Edukasi/Pendidikan
Unsur-unsur
penting dalam edukasi/pendidikan yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri
individu adalah:
·
Belajar.
·
Pengalaman.
·
Latihan.
·
Determinasi dir.
4. Lingkungan
Faktor
lingkungan meliputi:
·
Lingkungan keluarga.
·
Lingkungan masyarakat.
5. Agama dan budaya
Agama
berkaitan erat dengan faktor budaya. Agama memberikan sumbangan nilai-nilai,
keyakinan, praktik-praktik yang memberikan makna sangat mendalam, tujuan serta
kestabilan dan keseimbangan hidup individu. Budaya juga merupakan faktor yang
sangat berpengaruh terhadap kehidupan individu.
2.4. Bimbingan Klasikal Sebagai Strategi Dalam melaksanakan Layanan Dasar
Kurikulum
bimbingan (layanan dasar) merupakan salah satu komponen dalam program bimbingan
dan konseling komprehensif perkembangan. Kurikulum bimbingan merupakan
serangkaian kompetensi yang dirumuskan berdasarkan pada hasil analisis
kebutuhan dan dirancang secara sistematis serta bertahap untuk seluruh siswa.
Gysbers & Handerson(Muro & Kottman,
1995:5) mengungkapkan guidance curriculum is the core of the developmental
approach. Kurikulum bimbingan merupakan bagian utama dalam keseluruhan
program, hal ini dikarenakan kurikulum bimbingan mencakup berbagai kompetensi
yang harus dikuasai oleh seluruh peserta didik yang dapat menunjang
keberhasilan peserta didik dalam proses belajar dan kehidupannya.
Gysbers (CSCA,
2000:29) mengemukakan “ ... the curriculum component typically consist of
student competencies and structured activities presented systematically trhough
classroom or group activities.The curriculum is organized around three major
content areas: academic, career and personal/social.
Kurikulum bimbingan dalam konteks layanan
bimbingan dan konseling di Indonesia diterjemahkan dengan pelayanan dasar.
ABKIN (Dirjen PMTK, 2007:208) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan layanan
dasar adalah “ proses pemberian bantuan kepada seluruh konseli melalui kegiatan
penyiapan pengalaman terstruktur secara klasikal atau kelompok yang disajikan
secara sistematis dalam rangka mengembangkan perilaku jangka panjang sesuai
dengan tahap dan tugas-tugas perkembangan (yang dituangkan sebagai standar
kompetensi kemandirian) yang diperlukan dalam pengembangan kemampuan memilih
dan mengambil keputusan dalam menjalani keputusannya”.
Kurikulum
bimbingan dirancang untuk membekali berbagai keterampilan bagi para peserta
didik untuk menunjang proses aktualisasi seluruh potensi diri individu.
Kurikulum bimbingan diorganisasikan dalam tiga ranah utama perkembangan yaitu :
learning to live (pribadi/sosial), learning to learn (akademik),
learning to earn (karier). Ketiga ranah utama ini dikembangkan melalui
berbagai aktivitas yang meliputi pengambilan keputusan, penuntasan masalah,
perencanaan tujuan, organisasi dan manajemen informasi, kesadaran diri dan
pemahaman diri (Nandang Rusmana, 2009:102).
Dari paparan di atas bisa diperoleh pemahaman
bahwa kurikulum bimbingan merupakan layanan yang diperuntukan kepada seluruh
siswa, proses pemberian layanan dasar dilakukan melalui proses bimbingan, hal
ini dikarenakan isi dari kurikulum bimbingan merupakan berbagai keterampilan
yang tidak bisa hanya diajarkan melalui proses pengajaran yang hanya
berorientasi pada penyerapan informasi secara kognitif. Kurikulum bimbingan
harus diberikan melalui proses bimbingan yang berorientasi membantu para
peserta didik mencapai kesuksesan.
Nandang Rusmana (2009:12) mengemukakan beberapa karakteristik bimbingan
yang bisa dijadikan asumsi dasar pelaksanaan layanan dasar melalui pendekatan
bimbingan, yaitu :
·
Bimbingan adalah usaha pemberian bantuan
·
Bimbingan diberikan kepada orang-orang dari berbagai rentang usia
·
Bimbingan diberikan oleh tenaga ahli
·
Bimbingan bertujuan untuk perbaikan kehidupan orang-orang yang
dibimbing, yaitu untuk :
1. mengatur kehidupan sendiri
2. mengembangkan atau memperluas pandangan
3. menetapkan pilihan
4. mengambil keputusan
5. memikul beban kehidupan
6. menyesuaikan diri
7. mengembangkan kemampuan.
·
Bimbingan diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip demokratis.
·
Bimbingan merupakan bagian dari pendidikan secara keseluruhan.
(masih kurang tahap-tahap
bimbingan kelompok).
2.5. Kerangka berpikir
Berdasarkan
kajian teori di atas, kegiatan bimbingan klasikal menggunakan metode role play
dapat membuat siswa aktif karena mereka mengalami secara langsung penyelesaian
konflik melalui pemeranan, sehingga apa yang harus dipahami tersimpan dalam
memorinya. Melalui metode ini siswa
Penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, dimana
individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam
dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan frustrasi yang dialaminya,
sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam
diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana ia tinggal.
Bimbingan kelompok
merupakan tempat bersosialisasi dengan anggota kelompok dimana masing-masing
anggota kelompok akan mamahami dirinya dengan baik. Berdasarkan pemahaman diri
itu dia lebih rela menerima dirinya sendiri dan lebih terbuka terhadap
aspek-aspek positif dalam kepribadiannya, selain itu dalam layanan Bimbingan
kelompok ketika dinamika kelompok sudah dapat tercipta dengan baik ikatan batin
yang terjalin antar anggota kelompok akan lebih mempererat hubungan diantara
mereka sehingga masing-masing individu akan merasa diterima dan dimengerti oleh
orang lain, serta timbul penerimaan terhadap dirinya sendiri.
Kondisi lingkungan sekolah yang baru, transisi
dari SMP ke SMA adalah salah satu dinamika yang dialami oleh siswa, siswa terkadang
belum mampu menyesuaikan diri dengan lingkungans ekolah yang baru, dengan teman-teman
yang baru. Guru BK atau konselor sekolah harus mempunyai cara supaya dapat meningkatkan
penyesuaian diri siswa dengan cara membuat layanan bimbingan klasikal dengan
metode yang variatif dan inovatif sehingga dapat menimbulkan suasana yang asik,
aman, dan nyaman bag siswa serta konselor juga harus terbuka terhadap siswa dan
tidak menjugde siswa.
Menurut Fromm dan Gilmore (dalam Desmita, 2009:195) ada empat aspek
kepribadian dalam penyesuaian diri yang sehat antara lain :
a. Kematangan emosional, yang mencakup
aspek-aspek :
Kemantapan
suasana kehidupan emosional, Kemantapan suasana kehidupan kebersamaan dengan orang lain, Kemampuan untuk santai, gembira dan
menyatakan kejengkelan, Sikap dan perasaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri.
b. Kematangan intelektual, yang mencakup
aspek-aspek :
Kemampuan mencapai wawasan diri sendiri, Kemampuan
memahami orang lain dan keragamannya, Kemampuan mengambil keputusan, Keterbukaan
dalam mengenal lingkungan.
c. Kematangan sosial, yang mencakup aspek-aspek
:
Keterlibatan
dalam partisipasi sosial, Kesediaan kerjasama, Kemampuan kepemimpinan, Sikap toleransi.
d. Tanggung jawab, yang mencakup aspek-aspek :
Sikap produktif dalam mengembangkan diri, Melakukan
perencanaan dan melaksanakannya secara fleksibel, Sikap empati, bersahabat dalam hubungan
interpersonal, Kesadaran akan etika dan hidup jujur.
2.6. Hipotesis
Penelitian
Berdasarkan kajian
teori dan kerangka berpikir yang telah dipaparkan diatas, maka hipotesis kerja
dalam penelitian ini adalah adanya pengaruh metode role playing terhadap
penyesuaian diri siswa kelas X SMA Negeri 15 Tangerang.
BAB III
METODE PENELITIAN
I.
Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengukur pengaruh penerapan metode Role Play
terhadap penyesuaian diri siswa kelas X SMAN 15 Tangerang.
II.
Tempat dan Waktu Penelitian
A. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA
Negeri 15 Tangerang Jl. Villa Tangerang Regensi Periuk Periuk, Periuk, Kota
Tangerang, Indonesia 15131.
B. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli s.d.
November 2014. Dimulai pada semester
ganjil tahun ajaran 2014/2015.
C.
Prosedur Penelitian
No
|
Kegiatan
|
Waktu
|
Kelompok
|
Skenario
|
1.
|
Perlakuan 1
|
45 menit
|
1,2,3,4
|
Pembukaan, konselor menjelaskan
tujuan dari pembelajaran serta metode yang digunakan, konselor membagi kelas
menjadi 4 kelompok, lalu memberikan instrument penyesuaian diri kepada siswa.
|
2.
|
Perlakuan 2
|
45 menit
|
1,2,3,4
|
Pemberian scenario kepada siswa, siswa
mempelajari scenario dan berdiskusi dalam kelompok (untuk kelompok 3 dan 4
yang mendapat metode role play).
Kelompok 1 dan 2 membuat kelompok
besar dikelas dan konselor memulai pembelajaran dengan metode ceramah
mengenai penyesuaian diri.
|
3.
|
Perlakuan 3
|
45 Menit
|
1,2,3,4
|
Setelah siswa diberikan scenario
pada minggu sebelumnya, Konselor memulai pembelajaran dengan metode role
play, siswa berperan sesuai dengan scenario yang telah diberikan.
|
4.
|
Perlakuan 4
|
45 menit
|
1,2,3,4
|
Evaluasi, konselor dengan siswa
bersama-sama melakukan evaluasi terhadap pembelajaran yang telah diberikan
yaitu penyesuaian diri siswa, sehingga siswa dapat mengerti bagaimana
menyesuaiakan diri yang baik dengan teman-temannya.
|
5.
|
Perlakuan 5
|
45 menit
|
1,2,3,4
|
Penutup, konselor menutup kegiatan
dan memberikan tips-tips kepada siswa supaya siswa bisa meningkatkan
penyesuaian diri dengan teman-temannya.
|
III.
Populasi, Sample, dan Teknik Pengambilan Sample Penelitian
A. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri
15 Tangerang yaitu sebanyak 295 orang
B. Sampel
Arikunto menjelaskan bahwa apabila jumlah populasinya lebih
dari 100 orang, maka sample yang digunakan adalah 10% - 15% dari populasi
(Suharsimi, 1994), yaitu 21-31 orang. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
peneliti menggunakan salah satu kelas X SMA Negeri 15 Tangerang sebagai subjek
dalam penelitian ini karena guru bk merekomendasikan kelas X.5 sebagai sample
penelitian peneliti.
C. Teknik Pengambilan Sampel
Untuk menentukan sampel yang aklan digunakan dalam penelitian
ini, teknik yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Menurut Sugiyono
(2010) purposive
sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan
tertentu yakni sumber data dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan,
sehingga mempermudah peneliti menjelajahi obyek atau situasi
sosial yang sedang diteliti, yang menjadi kepedulian dalam pengambilan sampel
penelitian kualitatif adalah tuntasnya pemerolehan informasi dengan keragaman
variasi yang ada, bukan pada banyak sampel sumber data.
IV.
Pendekatan dan Desain Penelitian
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Quasi Eksperimen. Desain
Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain non ekuivalent
control group desain. Karena pada desain ini kelas kontrol dan kelas eksperimen
tidak dipilih secara random (Sugiyono, 2010). Yaitu adanya perbandingan hasil
pretes dan postes antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Bagannya
dapatdigambarkan seperti berikut:
O1 X1 O2
O2 X2 O2
Keterangan
:
O1 : Pretest
O2 :Postest
XI :
Treatmen 1, yaitu meningkatkan penyesuaian diri siswa dengan metode ceramah.
X2 :
Treatmen 2, yaitu meningkatkan penyesuaian diri siswa dengan metode role
playing.
V.
Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data
tentang variable pencapain tujuan pembelajaran diperoleh dengan menggunakan
instrument. Skala pengukuran yang digunakan dalam instrument ini adalah skala
Penyesuaian diri. Format respon yang digunakan dalam instrumen penelitian ini terdiri
dari 4 alternatif jawaban yaitu selalu, seringkali, kadang-kadang, dan tidak
pernah. Untuk mempermudah menghitung hasil yang diperoleh dari skala psikologis
tersebut, maka setiap jawaban diberi skor. Jika itemnya berupa pernyataan
positif maka skor untuk jawaban selalu (SL) 4, sering (SR) 3, kadang-kadang
(KD) 2, tidak pernah (TP) 1 dan jika pernyataannya negatif maka skor untuk
jawaban selalu (SL) 1, sering (SR) 2, kadang-kadang (KD) 3, tidak pernah (TP)
4.
Keterangan:
·
Selalu (SL), apabila pernyataan tersebut selalu Anda lakukan sesuai dengan keadaan /kondisi yang Anda alami.
·
Sering (SR), apabila pernyataan tersebut sering Anda lakukan sesuai dengan
keadaan/kondisi yang Anda alami.
·
Kadang-kadang (KD), apabila pernyataan tersebut kadang-kadang
Anda lakukan sesuai dengan keadaan
/kondisi yang Anda alami.
·
Tidak pernah (TP), apabila pernyataan tersebut tidak pernah
Anda lakukan sesuai dengan keadaan
/kondisi yang Anda alami.
Adapun kisi-kisi skala
psikologis penyesuaian diri yang diambil adalah sebagai
Berikut:
Kisi
–kisi Pengembangan Instrumen
Penyesuaian
diri
Variable
|
Indikator
|
|
Penyesuaian Diri
|
1. Kestabilan Emosi
2. Rasionalitas
3. Kemampuan mengarahkan diri
4. Kemampuan menghargai
oranglain
5. Kemampuan bekerjasama
|
VI.
Uji Validitas dan Reliabilitas
1.
Validitas
Validitas adalah ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan
atau kesahihan instrumen. Rumus yang digunakan untuk menguji validitas adalah
rumus korelasi product moment angka kasar yang dikemukakan oleh Person. Teknik Product
Moment Pearson dengan bantuan aplikasi Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16.0. Untuk
menentukan valid atau tidaknya sebuah pernyataan dilakukan dengan cara
membandingkan taraf signifikansi hitung dengan tingkat kesalahan (alpha) yang
telah ditentukan, apabila taraf signifikansi hitung lebih kecil dari pada
tingkat kesalahan (alpha) maka pernyataan dianggap valid, dan apabila taraf
signifikansi hitung lebih besar dari pada tingkat kesalahan (alpha) maka
pernyataan dinyatakan tidak valid. Tingkat kesalahan (alpha) yang ditentukan
dalam pengujian validitas ini adalah sebesar 0.05
2. Reliabilitas
Reliabitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur
dipakai dua kali—untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang
diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut reliabel. Dengan kata
lain, reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam
mengukur gejala yang sama (Ancok dalam Singarimbun, 1989).
Untuk mendapatkan penilaian instrumen yang dapat dipercaya atau menyatakan ketetapan (reliabel), maka
digunakan rumus Alpha Cronbach (Sugiyono,
2009 h.257):
Dengan keterangan:
r 11
= Reliabilitas instrumen
k =
Banyaknya butir soal yang valid
Sebelum menghitung reliabilitas instrumen,
perlu diketahui jumlah varians butir soal atau
. Dihitung dengan mencari varians tiap butir soal dengan
menggunakan rumus :
Selanjutnya
untuk menghitung varian total atau
menggunakan
rumus:
Hipotesis dalam
penelitian ini diuji pada taraf signifikansi α = 0.05 atau dengan tingkat
kesalahan sebesar 5%. Kriteria uji hipotesis pada penelitian ini adalah:
H0
ditolak = nilai asymp. Sig <
Signifikansi α = 0.05
H0
diterima = nilai asymp.
Sig > Signifikansi α = 0.05
3.7. Hipotesis Statistik
Rumusan hipotesis yang akan diuji dalam
penelitian ini yaitu:
Ho: Penyesuaian diri siswa lebih
rendah atau sama dengan setelah diberikannya bimbingan kelompok dengan teknik role playing.
H1: Penyesuaian diri siswa lebih
tinggi setelah diberikannya bimbingan kelompok dengan teknik role playing.
Berdasarkan
rumusan hipotesis di atas, maka hipotesis statistik yang diuji dalam penelitian
ini yaitu:
Ho :
μ1≥μ2
H1 :
μ1< μ2
Daftar Pustaka:
·
Sukardi, Dewa Ketut.
2008. Proses Bimbingan dan konseling Di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
·
Tijan. 1993.
Bimbingan Dan Konseling Sekolah Menengah. Yogyakarta: Unit Percetakan
dan Penerbitan (UPP) UNY.
·
Survey Federasi
Kesehatan Mental Indonesia/Fekmi tahun
(2005) tentang penyesuain diri siswa.
·
Schneiders, A. (1964).
Personal Adjustment and Mental Health. New York: Rinehart & Winston.
·
Bruce joyce, marsha weil &Emily Calhoun, models of
teaching :model-model pengajaran edisi delapan terjemahan achmad fawaid
&ateilla mirza (yigyakarta, pustaka belajar, 2009).
·
W.S Winkel dan Sri Hastuti, Bimbinga
dan Konseling di Institusi Pendidikan, dikutip langsung (atau tidak
langsung) oleh Aip Badrujaman, Teori dan
Praktik Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling, Indeks, Jakarta, 2010
·
Hurlock, E. 1999. AdolescentDevelopment . New York: Mc Grow Hill
BookCompany.
·
Alex Sobur, (2003). Psikologi Umum. Bandung : Pustaka
Setia
·
Kartini Kartono, (2002). Psikologi Perkembangan. Jakarta :
Rineka Cipta
·
Sunarto dan Hartono.
2008. Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
·
Desmita, (2009). Psikologi Perkembangan. Bandung :
Remaja Rosda Karya.
·
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian
Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, KualitatifDan R&D. Alfabeta: Bandung.
·
Rusmana, Nandang (2009). Bimbingan
dan Konseling Kelompok di Sekolah (Metode, Teknik, dan Aplikasi). Bandung :
Rizqi Press.
·
Yusuf, S & Nurihsan, A.J. (2006). Landasan Bimbingan dan Konseling.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
h Hak Cipta : Baiq Wachida Intan Pertiwi
3 komentar:
bermanfaat banget postingannya.
thanks ya :)
bermanfaat banget postingannya.
thanks ya :)
Buku tentang penyesuaian diri apa aja?
Posting Komentar