Welcome To My Blog

(: come join me :)

Minggu, 08 Juni 2014

Pengaruh Metode Role Playing Dalam Bimbingan Klasikal Terhadap Penyesuaian Diri Siswa Kelas X SMA Negeri 15 Tangerang

Diposting oleh sherra adianty's di 07.39
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari sekolah yang bertujuan memberikan bantuan kepada siswa baik perorangan maupun kelompok agar menjadi pribadi yang mandiri dan berkembang secara optimal (Sukardi, 2008). Penggunaan layanan bimbingan konseling memiliki fungsi yang mempunyai hubungan dan pengaruh yang sangat besar bagi para siswa, baik dari sikap maupun akademiknya (Yusuf dan Nurihsan, 2006). Di samping sebagai penyemangat bagi para murid, penggunaan layanan bimbingan konseling juga bisa menjadi tempat mengadunya para murid atau tempat konsultasi ketika murid sedang menghadapi masalah atau problem dalam belajar.
Salah satu bentuk layanan dalam bimbingan dan konseling yaitu bimbingan klasikal yang merupakan proses pemberian bantuan kepada seluruh siswa melalui kegiatan penyiapan pengalaman terstruktur secara klasikal yang disajikan secara sistematis. Pemberian layanan ini berfokus pada pencegahan, dengan menekankan kepada penguasaan siswa akan tugas perkembangannya sehingga dapat diartikan bahwa setelah menerima layanan ini, diharapkan siswa dapat menjalankan tugas perkembangannya dengan baik dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam menjalankan peran kehidupannya dalam keluarga dan masyarakat. Studi yang dilakukan oleh Myrick R.D bahwa layanan bimbingan kalsikal yang disusun berdasarkan teori perkembangan manusia membantu siswa dalam mendapatkan pengetahuan, keterampilan, kedasaran diri, dan penugasan perkembangan secara normal. Dalam melakukan bimbingan klasikal guru BK diharapkan melakukannya dengan metode yang menarik dan inovatif supaya siswa merasa antusias dan tidak jenuh salah satunya dengan menggunakan metode role play.
Pembelajaran dengan metode role play adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan itu dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Metode ini banyak melibatkan siswa dan membuat siswa senang belajar serta metode ini mempunyai nilai tambah, yaitu dapat menjamin partisipasi seluruh siswa dan memberi kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuannya dalam bekerjasama hingga berhasil, permainan merupakan pengalaman yang menyenangkan bagi siswa (Prasetyo, 2001:72). 
Metode role play merupakan salah satu kegiatan bermain peran (Role playing). Sesuai dengan namanya, teknik ini digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial. Siswa atau sekelompok individu yang diberi bimbingan, sebagian diberi peran sesuai jalan cerita yang disiapkan. Sedangkan yang lain bertindak sebagai pengamat. Selesai permainan drama dilaksanakan juga diskusi tentang pemeranan, jalan cerita, dan ketepatan pemecahan masalah dalam cerita tersebut (Tijan, 1993: 37). Dengan menggunakan metode yang tepat maka guru BK juga harus memilih topic yang akan dibahas sesuai dengan isu-isu perkembangan yang dialami oleh siswa kelas X salah satunya yaitu penyesuaian diri.  
Menurut Schneider (1964) penyesuaian diri merupakan kemampuan untuk mengatasi tekanan kebutuhan, frustasi dan kemampuan untuk mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat. Lingkungan baru bagi beberapa orang merupakan sebuah stimulus bagi seseorang yang terkadang mampu menjadi penyebab terjadinya kesulitan dalam menyesuaikan diri. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh siswa berbeda-beda, tidak semua siswa baru dapat menyesuaikan diri dengan baik karena tipe-tipe kepribadian remaja yang berbeda menimbulkan individual deferences yang membedakan pula respon remaja terhadap lingkungan. Dapat dilihat dari sebagian siswa yang merasa tidak nyaman dengan posisinya sebagai siswa baru di SMA.
Hal ini kemudian menimbulkan berbagai hambatan dalam penyesuaian diri serta sosialisasi dengan lingkungan baru. Seperti kesulitan dalam memilih teman baru, tidak cocok dengan lingkungan dan teman baru di kelas dan penyesuaian lingkungan belajar yang berbeda. Setiap individu melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam setiap tahap perkembangannya. Pada tahap remaja individu mengalami perubahan yang hebat karena merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa, khususnya pada awal pubertas atau remaja awal. Perubahan itu meliputi perubahan jasmani, kepribadian, intelek serta peranan di dalam maupun di luar lingkungan. Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan jiwa dan mental individu. Banyak individu yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya, karena ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri, baik dengan kehidupan keluarga, sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat pada umumnya. Tidak jarang pula ditemui bahwa orang-orang mengalami stres dan depresi disebabkan oleh kegagalan mereka untuk melakukan penyesuaian diri dengan kondisi yang penuh tekanan.Penyesuaian diri adalah proses dinamis yang bertujuan merubah tingkah laku individu agar terjadi hubungan yang sesuai antara dirinya dan lingkungan sosialnya yang dilakukan secara timbal balik baik fisik dan psikis.
Hasil survey dari Federasi Kesehatan Mental Indonesia/Fekmi (2005), menunjukkan bahwa 47,7% remaja sering merasa cemas, 84% merasakan cemas yang berulang, 70,3% sering berfikir yang tidak-tidak dan mengaku sering mengalami mimpi buruk, 79% remaja mencemaskan penampilan, 31% menggunakan obat penenang, 54% mengaku pernah berkelahi, 87% berbohong, dan 8,9% pernah mencoba narkoba. Boyke Dian (Ipah, 2005) mengemukakan terdapat sekitar 6 - 20% para siswa SMU dan mahasiswa pernah melakukan hubungan seks di luar nikah. Di Jakarta, pada tahun 2000 diketahui ada lebih dari 166 SMTP dan 172 SLTA yang menjadi pusat peredaran narkotika dengan lebih dari 2000 siswa terlibat di dalamnya. Hasil survey dan penelitian diatas menunjukkan adanya penyesuaian diri yang menyimpang pada remaja. Semakin maraknya problema yang dialami remaja merupakan indikasi bahwa remaja banyak mengalamipenyesuaian diri yang menyimpang. Hal tersebut dapat menyebabkandampak yang tidak baik pada diri remaja apabila tidak segera ditangani. Guru BK/Konselor dapat membantu siswa yang memiliki masalah dalam penyesuaian diri. Sebagaimana yang dipaparkan dalam Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1990 tugas konselor atau guru pembimbing adalah membantu siswa dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan perencanaan masa depan.
Dalam proses penyesuaian diri, individu dapat dikatakan berhasil apabila mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam lingkungan dengan bertindak secara wajar yang ditandai oleh sikap tidak adanya rasa benci, mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya, serta terhindar dari kegoncangan emosi, dan ketidakpuasan terhadap nasib yang dialami, sebaliknya individu yang gagal dalam melakukan penyesuaian diri atau disebut penyesuaian diri yang salah akan ditandai dengan berbagi tingkah laku yang salah, tidak terarah, emosional, sikap yang tidak realistik dan agresif.
 Begitu pula halnya dengan siswa yang baru mengenal lingkungan di Sekolah Menengah Atas, dimana lingkungan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan Sekolah Menengah Pertama. Untuk menghadapi lingkungan baru ini, siswa membutuhkan kepercayaan diri dan kemampuan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Sehingga dengan modal tersebut, seseorang dapat beraktivitas dalam menjalankan tugas-tugas di SMA dengan baik. Transisi dari siswa SMP menjadi siswa SMA, memperoleh temanbaru, berada di lingkungan yang baru. Suatu perubahan mendasar yang tiba-tiba yaitu lingkungan baru, teman baru dari berbagai kalangan bervariasi. Hal ini akan sangat berpengaruh dengan penyesuaian diri siswa.
Berdasarkan fakta di lapangan melalui studi pendahuluan dan wawancara kepada siswa kelas X di SMA Negeri 15 Tangerang bentuk penyesuaian diri yang salah dilakkan oleh sebagian besar siswa, umumnya siswa tidak mau memulai untuk berinteraksi, siswa tidak bisa mengerti salah satu mata pelajaran karena guru yang bersangkutan sering tidak masuk, masih banyak yang berkelompok atau “ngegenk”, beberapa siswa sering mengganggu teman pada saat jam pelajaran, sdan selalu mau menang sendiri. Bertolak dari rumusan latar belakang masalah di atas maka peneliti mengambil judul penelitian “Pengaruh Metode Role Playing dalam Bimbingan Klasikal Terhadap Penyesuaian Diri Siswa Kelas X SMA Negeri 15 Tangerang.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana kondisi penyesuaian diri siswa kelas X sebelum diterapkan metode role playing dalam bimbingan klasikal di SMA Negeri 15 Tangerang?
2.      Bagaimana proses penerapan bimbingan klasikal metode role playing dalam meningkatkan penyesuaian diri siswa kelas X di SMA Negeri 15 Tangerang?
3.      Bagaimana Penyesuaian diri siswa kelas X SMA Negeri 15 Tangerang setelah diterapkan metode role playing dalam bimbingan klasikal?
4.      Kendala-kendala apa yang dialami guru BK/ konselor dalam menerapkan metode role playing dalam bimbingan klasikal?

1.3. Batasan Masalah
            Berdasarkan latar belakang dan identifikasi di atas, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti yaitu mengenai masalah penyesuaian diri pada siswa kelas X SMA Negeri 15 Tangerang melalui kegiatan layanan bimbingan klasikal dengan metode sosiodrama atau role play.
1.4. Perumusan Masalah
            Berdasarkan hasil pembatasan masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Apakah ada pengaruh layanan bimbingan klasikal dengan metode role play  terhadap penyesuaian diri siswa kelas X SMA Negeri 15 Tangerang?
1.5. Manfaat Penelitian
  1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang Bimbingan dan Konseling maupun dalam bidang Pendidikan. Selain hal tersebut, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain dalam memperluas wawasan untuk mengkaji berbagai permasalahan yang berhubungan dengan peingkatan penyesuaian diri dengan metode role playing.
  1. Manfaat Praktis
                                i.            Bagi Konselor
Penelitian ini diharapakan dapat membantu konselor dalam melakukan bimbingan klasikal terhadap siswa kelas X yang mengalami permasalahan penyesuaian diri dengan lingkungan sekolah yang baru. Serta membantu konselor untuk merancang suatu model atau metode pembelajaran yang inovatif dan variatif seperti metode role playing.
                              ii.            Bagi Siswa
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan untuk membantu siswa dalam memahami kondisi psikologis penyesuaian diri terhadap lingkungan sekolah yang baru



BAB II
KAJIAN  TEORI

2.1. Deskripsi Teoritis
2.1.1 Metode Role Play
a.      Definisi Metode Role Play
Role Play merupakan sebuah model pengajaran yang berasal dari dimensi pendidikan individu maupun sosial. Role play dimainkan dalam beberapa rangkaian tindakan seperti menguraikan sebuah masalah, memeragakan, dan mendiskusikan masalah tersebut. Dalam Bimbingan klasikal role play dapat digunakan untuk membantu siswa memahami dan menghayati masalah-masalah sosial serta mengembangkan kemampuan untuk memecahkannya. Siswa didorong untuk mengeksplorasi masalah-masalah tersebut dengan cara memainkan peran dalam situasi yang telah ditentukan, secara spontan tanpa menggunakan  naskah. Metode role play memudahkan siswa untuk bekerjasama dalam  menganalisis keadaan sosial, khususnya masalah antar manusia seperti konflik interpersonal.
Bruce Joyce, dkk. Menjelaskan bahwa, salah satu masalah sosial yang dapat ditelusuri dan dipahami dengan menggunakan metode role play adalah konflik interpersonal. Fungsi utama role play dalam memahami konflik interpersonal adalah memunculkan konflik antara beberapa individu, sehingga siswa dapat menemukan teknik yang tepat untuk mengatasi konflik tersebut. Melalui metode role play, siswa yang memerankan dapat memunculkan respon respon emosional terkait dengan materi bimbingan dan siswa yang lain melihat secara langsung pemeranan tersebut, sehingga mereka dapat lebih mudah memahaminya.
Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa, metode role play merupakan metode yang dapat mendorong para siswa untuk memerankan, mendramatisasikan, dan melihat secara langsung situasi yang terkait dengan masalah-masalah sosial seperti konflik interpersonal, tanpa menggunakan naskah tertulis untuk kemudian mendiskusikan masalah-masalah tersebut. Metode ini membantu siswa untuk lebih memahami materi bimbingan karena dalam prosesnya mereka terlibat dan melihat secara langsung bagaimana permasalahan sosial seperti konflik interpersonal diselesaikan.
b.      Tujuan Metode Role Play
Tujuan yang diharapkan dengan penggunaan metode role play antara lain adalah : (a). mengeksplorasi perasaan siswa, (b). mentransfer dan mewujudkan pendangan mengenai perilaku, nilai, dan persepsi siswa, (c). mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan tingkah laku, (d). mengeksplorasi materi pelajaran dengan cara yang berbeda. Role play dapat menggambarkan perasaan siswa, baik perasaan yang hanya dipikirkan maupun perasaan yang diekspresikan. Siswa yang melakukan role play menempatkan dirinya dalam posisi orang lain, dan mencoba berinteraksi dengan siswa lain yang juga bertugas memerankan. Melalui metode ini, siswa mempelajari watak oranglain, cara berhubungan dengan oranglain, dan cara memecahkan masalah yang ada. 
Siswa menyalurkan pemahaman dan persepsi mereka terhadap materi bimbingan dengan cara memerankannya. Begitu pula dengan para siswa yang bertugas sebagai pengamat, mereka mendapatkan contoh secara langsung dari role play yang dilakukan oleh teman-temannya. Kegiatan ini dapat mengeksplorasi materin bimbingan secara langsung melalui cara yang tidak membosankan, karena melibatkan siswa secara aktif dalam proses bimbingan klasikal. Diskusi yang dilakukan setelah pemeranan berakhir juga mendorong siswa untuk mengutarakan pendapatnya dan menyamakan pemahaman mereka, terkait dengan materi bimbingan, dengan para siswa yang lain.
c.       Langkah – langka Metode Role Play
Petunjuk atau langkah-langkah dalam menggunakan metode role play adalah menghangatkan situasi kelas, memilih partisipan, mempersiapkan pentas, menyiapkan pengamat, memerankan, diskusi dan evaluasi, memerankan kembali, diskusi dan evaluasi, berbagi dan mengembangkan pengalaman.
Tahap pertama menghangatkan situasi kelas. Kegiatan yang dilakukan adalah mengidentifikasi atau memperkenalkan masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan masalah dalam cerita, dan menelusuri isu, serta menjelaskan role play. Peneliti memancing sensitivitas kelompok dengan menyajikan sebuah masalah dan menciptakan  suasana yang bersahabat, sehingga siswa merasakan bahwa semua pandangan, perasaan, dan tingkah laku dapat diungkapkan tanpa merasa takut atau malu. Selanjutnya, peneliti menjelaskan masalah melalui ilustrasi yang diambil dari film, televise, atau contoh kasus sehari-hari. Setelah itu, peneliti mengajukan pertanyaan yang membuat siswa berpikir dan memperkirakan akhir dan cerita atau masalah yang telah disampaikan.
Tahap kedua adalah memilih partisipan. Kegiatannya adalah menganalisis dan memilih pemain peran. Peneliti memilih pemain peran dengan karakter yang berbeda-beda, sesuai dengan peran yang akan dimainkan. Pemilihan peran dapat dilakukan dengan cara meminta siswa menjadi sukarelawan atau dengan memilih siswa secara langsung di kelas. Pada tahap ketiga, peneliti mempersiapkan pentas, seperti menegaskan peran-peran yang akan dimainkan. Siswa-siswa yang akan memainkan peran merangkum situasi yang diberikan peneliti namun tidak perlu mempersiapkan dialog khusus. Pada tahap ini peneliti memberikan kesempatan bagi siswa-siswa tersebut untuk mendiskusikan perkiraan adegan yang akan diperankan.
Tahap keempat adalah mempersiapkan pengamat, yaitu para siswa lain yang tidak bermain peran. Kegiatan ini dilakukan dengan mempersiapkan hal-hal yang harus diamati dan diperhatikan untuk didiskusikan pada akhir role play. Pengamat harus terlibat aktif dalam memperhatikan, sehingga mereka dapat menganalisis kegiatan pemeranan yang dilakukan oleh siswa-siswa yang bermain peran. Pada tahap kelima, para siswa mulai memainkan perannya masing-masing secara spontan sesuai situasi yang telah disampaikan peneliti. Setelah role play mencapai puncaknya, peneliti menghentikan siswa yang bermain peran dan beralih pada tahap keenam untuk mendiskusikan dan mengevaluasi kegiatan yang telah berlangsung.
Jika diskusi yang dilakukan setelah pemeranan tidak mampu memberi pemahaman kepada siswa mengenai kejadian atau peran tertentu, maka peneliti dapat meminta reka ulang adegan yaitu pada tahap ketujuh. Tujuan dari pemeranan pertama adalah untuk menetapkan kejadian atau peran, sedangkan pemeranan yang kedua dimaksudkan agar dapat diperiksa, dianalisis, dan dikerjakan ulang. Jika siswa sudah memahami peran yang dimainkan, maka tahap ketujuh ini tidak perlu dilakukan. Pada tahap yang terakhir, siswa dan peneliti saling berbagi dan mengembangkan pengalaman. Kegiatan ini dilakukan dengan menghubungkan situasi permasalahan dengan pengalaman yang sebenernya terjadi.


d.      Kelebihan dan Kekurangan Metode Role Play
Metode role play memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan dalam praktiknya, berikut penjelasannya:
1)      Kelebihan metode role play
(a) dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa, serta merupakan pengalaman yang menyenagkan bagi siswa, (b) siswa akan terlatih untuk berinisiatif dan kreatif, (c) sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias, (d) membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi, (e) dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, dan dapat memetik butir-butir hikmah yang terkandung di dalamnya dengan penghayatan siswa sendiri, (f) dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan professional siswa, dan dapat menumbuhkan / membuka kesempatan bagi lapangan kerja.
2)      Kelemahan metode role play
(a) jika siswa tidak dipersiapkan secara baik ada kemungkinan tidak akan melakukan secara sungguh-sungguh, (b) role play mungkin tidak akan berjalan dengan baik jika suasana kelas tidak mendukung, (c) role play tidak selamanya menuju arah yang diharapkan seseorang yang memainkannya, bahkan juga mungkin akan berlawanan denga apa yang diharapkan, (d) siswa sering mengalami kesulitan untuk memerankan peran secara baik, khususnya jika mereka tidak diarahkan atau tidak ditugasi dengan baik, (e) siswa perlu mengenal dengan baik apa yang diperankannya, sehingga membutuhkan waktu yang banyak, (f) diperlukan kelompok yang sensitive, imajinatif, terbuka, saling mengenal hingga bekerjasama dengan baik.
            Metode role play dapat membuat siswa menjadi aktif dan mengalami langsung situasi konflik interpersonal, sehingga siswa dapat memiliki pemahaman mendalam terkait dengan penyelesaian konflik tersebut. Tetapi, pengelolaan yang kurang baik dari pelaksanaan metode ini, dapat menghilangkan tujuan awal bimbingan. Selain itu, faktor psikologis seperti rasa malu dan takut juga dapat menghambat pelaksanaan role play.

2.2. Kajian Teoritis Bimbingan Klasikal
2.2.1. Definisi Bimbingan Klasikal
Menurut Winkel dan Hastuti bimbingan klasikal merupakan istilah yang khusus digunakan di institusi pendidikan sekolah dan menunjuk pada sejumlah siswa yang dikumpulkan bersama untuk kegiatan bimbingan. Pengertian lain menyebutkan bahwa bimbingan klasikal adalah bimbingan yang berorientasi pada kelompok siswa dalam jumlah yang cukup besar antara 30-40 orang siswa (satu kelas). Bimbingan klasikal dirancang menuntut konselor untuk melakukan kontak langsung dengan peserta didik di kelas.
Berdasarkan definisi mengenai bimbingan klasikal yang telah disebutkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa bimbingan klasikal merupakan kegiatan bimbingan berisi 30-40 jumlah siswa yang melakukan kontak langsung dengan konselor di dalam sebuah kelas.


1.      Tujuan Bimbingan Klasikal
Tujuan pemberian layanan bimbingan di sekolah yaitu untuk membantu siswa agar memperoleh perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat dan memperoleh keterampilan dasar hidupnya atau dengan kata lain membantu siswa mencapai tugas-tugas perkembangannya.
2.      Kelebihan Bimbingan Kalasikal
Keguanaan dari bimbingan klasikal memang besar sekali; dapat dikemukakakn antara lain:
1)      Tenaga pembimbinga masih sangat terbatas dan jumlah murid yang perlu dibimbing begitu banyak, sehingga pelayanan bimbingan secara perseorangan tidak akan merata. Kesukaran ini agak dapat diatasi dengan memberikan bimbingan kelompok.
2)      Melalui bimbingankelompok murid dilatih dalam menghadapi suatu tugas bersama atau memecahkan suatu problem bersama. Dengan demikian murid sedikit banyak dididik untuk hidup secara berkelompok.
3)      Dalam mendiskusikan sesuatu bersama murid didorong untuk berani mengemukakakn pendapatnya dan menghargai pendapat orang lain. Selain itu beberapa murid akan lebih berani membicarakan kesukarannya dengan konselor setelah mereka mengerti bahwa teman-temannya juga mengalami kesukaran itu.
4)      Banyak informasi yang dibutuhkan murid dapat diberikan secara kelompok; cara ini lebih ekonomis
5)      Melalui bimbingan kelompok beberapa murid menjadi lebih sadar, bahwa mereka sebaiknya menghadap konselor untuk mendapat bimbingan secara lebih mendalam.
6)      Melalui bimbingan kelompok seorang ahli bimbingan yang baru saja diangkat dapat memperkenalkan diri dan berusaha mendapat kepercayaan dari murid.
3.      Bidang Bimbingan
Bidang bimbingan terbagidalam empat bidang yang masing-masing memiliki penekanan khusus. Bidang bimbingan tersebut adalah bidang bimbingan pribadi, bidang bimbingan sosial, bidang bimbingan karir, bidang bimbingan belajar. Pokok-pokok masing-masing bidang diuraikan sebagai berikut.
1)      Bidang Bimbingan Pribadi
Bidang bimbingan pribadi bertujuan membantu siswa mengenal, menemukan, dan mengembangkan pribadi yang beriman dan bertakwa kepada tuhan , mandiri, serta sehat jasmani dan rohani.
2)      Bidang Bimbingan Sosial
Bidang bimbingan sosial bertujuan untuk membantu siswa memahami diri dalam kaitannya dengan lingkungan dan etika pergaulan sosial yang dilandasi budi pekerti luhur dan tanggung jawab sosial.
3)      Bidang Bimbingan Belajar
Bidang bimbingan belajar bertujuan untuk membantu siswa mengenal, menumbuhkan dan mengambangkan diri, sikap, dan kebiasaaan belajar yang baik untuk mneguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan program belajar dalam rangka menyiapkan diri melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan atau berperan dalam masyarakat.
4)      Bidang Bimbingan Kariri
Bidang bimbingan karir bertujuan membantu siswa mengenal potensi diri sebagai syarat dalam menyiapkan karir masing-masing.  
2.3. Pengertian Penyesuaian Diri    
            Schneiders (1964) mengungkapkan penyesuaian diri adalah kemampuan atau kapasitas individu untuk bereaksi secara efektif terhadap kenyataan, situasi dan hubungan sosial untuk mencapai kehidupan social yang memuaskan. Penyesuaian diri mempunyai ciri-ciri tertentu yaitu adanya motif yang melatarbelakangi munculnya perilaku, ada rintangan dari lingkungan yang menghambat, respon yang muncul pada masing-masing individu bervariasi dan berakhir dengan penemuan suatu pemecahan. Pengertian yang terkandung di dalamnya antara lain merupakan usaha manusia untuk mengurangi tekanan akibat dorongan kebutuhan dan usaha untuk menyelaraskan hubungan undividu dengan realitas. Dalam arti yang lebih sempit ditekankan pada penyesuaian diri sebagai proses melibatkan respon mental dan perilaku manusia dalam usahanya mengatasi dorongan-dorongan dari dalam diri agar diperoleh kesesuaian antar tuntutan dari dalam dan dari lingkungan. Ini berarti bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan kondisi yang statis.
Schneiders, 1964 berpendapat “social adjustment signifies the capacity to react evvectively and wholesomely to social realities,situations so that the requirements for social living are fulfilled in a acceptable angsatisfactory manner”.

Pendapat tersebut bermakna bahwa di dalam penyesuaian sosial menandakan kapasitas untuk memberi reaksi yang efektif dan bermanfaat dalam kenyataan sosial, situasi sebagai syarat pemenuhan kehidupan sosial dan dapat diterima sebagai sikap yang nyaman. (Schneiders, 1964) Interaksi yang diadakan individu dalam kehidupan sosial senantiasa harus melihat kondisi lingkungannya untuk dapat melakukan penyesuaian seperti yang dikemukakan oleh Schneiders (1964) berikut :
“A process involving both mental and behavioral responses, by which an individual strives to cope successfully with inner needs, tensions, frustrations, and conflict, and to degree of harmony between these inner demands and those imposed on him by the objective world in which he lives”.
Pendapat tersebut bermakna bahwa di dalam penyesuaian terhadap kehidupan sosial, individu melakukan kegiatan atau respon mental dan tingkah laku untuk meredakan keteganganketegangan, tekanan, frustasi dan konflik-konflik serta menyesuaikan diri dengan norma-norma masyarakat dimana ia tinggal, hal ini sebagai suatu proses untuk mencapai kesuksesan dengan meningkatkan keinginan dari dalam diri individu itu sendiri dan menitikberatkan pada tujuannya pada lingkungan dimana ia tinggal.
            Hurlock (1999), menyatakan bahwa penyesuaian diri yang berhasil akan menuju pada kondisi mental yang baik dalam arti mampu memecahkan masalahnya dengan cara realistis, menerima dengan baik sesuatu yang tidak dapat dihindari, memahami secara objektif kekurangan orang lain yang bekerja dengan dirinya. Pendapat tersebut bermakna bahwa di dalam penyesuaian terhadap kehidupan sosial, individu melakukan kegiatan atau respon mental dan tingkah laku untuk meredakan keteganganketegangan, tekanan, frustasi dan konflik-konflik serta menyesuaikan diri dengan norma-norma masyarakat dimana ia tinggal, hal ini sebagai suatu proses untuk mencapai kesuksesan dengan meningkatkan keinginan dari dalam diri individu itu sendiri dan menitikberatkan pada tujuannya pada lingkungan dimana ia tinggal. Penyesuaian diri manusia dalam kelompok berperan sesuai dengan jenis kelaminnya merupakan bagian normal dalam proses perkembangan sehingga tidak seorangpun menganggapnya sebagai masalah. Akibat dari proses tersebut terbentuklah stereotip jenis kelamin yang secara tidak langsung disetujui oleh anggota kedua jenis kelamin dalam suatu lingkungan, bergantung pada apa saja yang dihargai untuk lingkungan tersebut.
            Hurlock (1999), juga menambahkan bahwa untuk melakukan penyesuaian yang baik bukanlah hal yang mudah. Akibatnya, banyak individu yang kurang dapat menyesuaikan diri, kurang baik secara sosial maupun pribadi. Perkembangan pribadi, sosial dan moral yang dimiliki seseorang menjadi dasar untuk memandang diri dari lingkungannya di masa-masa selanjutnya.
            Callhoun dan Acocella (dalam Sobur, 2003), penyesuaian diri dapat didefinisikan sebagai interaksi individu yang kontinu dengan diri individu sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia individu.
            Kartini Kartono (2002), penyesuaian diri adalah usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Sehingga rasa permusuhan, dengki, iri hati, prasangka, depresi, kemarahan, dan lain-lain emosi negative sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien bisa dikikis habis.
            Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud penyesuaian diri adalah kemampuan atau kapasitas individu untuk bereaksi secara efektif terhadap kenyataan, situasi, dan hubungan sosial untuk mencapai kehidupan sosial yang memuaskan. Dalam melakukan penyesuaian diri, seorang individu akan menjalin hubungan dengan lingkungan masyarakat yang merupakan sifat dan kebutuhan manusia. Dalam hubungan sosial ini, antar individu akan saling mempengaruhi sehingga setiap individu akan menerima nilai-nilai dan mengadakan penyesuaian diri yang tepat agar mampu menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial yang berlaku.
2.3.1. Karakteristik Penyesuaian Diri
            Tidak selamanya individu berhasil melakukan penyesuaian diri, karena terkadang ada rintangan-rintangan tertentu yang menyebabkan tidak berhasil melakukan penyesuaian diri. Ada individu – individu yang mampu melakukan penyesuaian diri secara positif, namun ada pula individu-individu yang melakukan penyesuaian diri yang salah (Sunarto & Hartono, 2008).
a.      Penyesuaian diri secara positif
Individu yang mampu melakukan penyesuaian diri secara positif ditandai hal-hal sebagai berikut (Sunarto & Hartono, 2008) :
1.      Tidak menunjukan adanya ketegangan emosional.
2.      Tidak menunjukan adanya mekanisme – mekanisme psikologis.
3.      Tidak menunjukan adanya frustasi pribadi.
4.      Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri.
5.      Mampu dalam belajar.
6.      Menghargai pengalaman.
7.      Bersikap realistic dan objektif.
b.      Penyesuaian diri yang salah
Kegaglan dalam melakukan penyesuaian diri secara positif, dapat mengakibatkan individu melakukan penyesuaian yang salah, yang ditandai dengan berbagai bentuk tingkah laku yang serba salah, tidak terarah, emosional, sikap yang tidak realistik, agresif, dan sebagainya. Ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah, yaitu (Sunarto & Hartono, 2008) :
1)      Reaksi bertahan (defence reaction), yaitu individu berusaha untuk memepertahankan dirinya, seolah-olah tidak mengahadapi kegagalan dan selalu berusaha untuk menunjukan dirinya tidak mengalami kegagalan dengan melakukan rasionalisasi, represi, proyeksi, dan sebagainya.
2)      Reaksi menyerang (aggressive reaction), yaitu menyerang untuk menutupi kesalahan dan tidak mau menyadari kegagalan, yang tampak dalam perilaku selalu membenarkan diri sendiri, mau berkuasa dalam setiap situasi, keras kepala dalam perbuatan, menggertak, baik dengan ucapan dan perbuatan, menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka, dan sebagainya.
3)      Reaksi melarikan diri, yaitu melarikan diri dari situasi yang menimbulkan kegagalannya, yang tampak dalam perilaku berfantasi, banyak tidur, minum-minuman keras, bunuh diri, regresi, dan sebagainya.
2.3.2. Proses Penyesuaian Diri
            Menurut Schneiders (1964), proses penyesuaian diri setidaknya melibatkan tiga unsur, yaitu:
a)      Motivasi
Faktor motivasi dapat diartikan sebagai kunci untuk memahami proses penyesuaian diri. Motivasi, sama halnya dengan kebutuhan, perasaan, dan emosi merupakan kekuatan internal yang menyebabkan ketegangan dan ketidakseimbangan dalam organism. Ketegangan dan ketidakseimbangan memberikan pengaruh kepada kekacauan perasaan patologis dan emosi yang emosi yang berlebihan dan kegagalan mengenal pemuasan kebutuhan secara sehat karena mengalami frustasi dan konflik.
b)      Sikap terhadap realitas
Berbagai aspek penyesuaian diri ditentukan oleh sikap dan cara individu bereaksi terhadap manusia disekitarnya, benda-benda, dan hubungan-hubungan yang membentuk realitas. Beberapa perilaku seperti sikap antisocial, kurang berminat terhadap hiburan, sikap bermusuhan, kenakalan dan semaunya sendiri, semua itu dianggap sangat mengganggu hubungan antara penyesuaian diri dengan realitas.
c)      Pola dasar penyesuaian diri
Terdapat suatu pola dasar penyesuaian diri dalam penyesuaian diri individu sehari-hari. Individu berusaha mencari kegiatan yang dapat mengurangi ketegangan yang ditimbulkan sebagai akibat tidak terpenuhi atau terhambatnya kebutuhan individu.
2.3.4. Aspek-aspek Penyesuaian Diri 
Menurut Fromm dan Gilmore (dalam Desmita, 2009) ada empat aspek kepribadian dalam penyesuaian diri yang sehat antara lain :
a. Kematangan emosional, yang mencakup aspek-aspek :
1.      Kemantapan suasana kehidupan emosional
2.      Kemantapan suasana kehidupan kebersamaan dengan orang lain
3.      Kemampuan untuk santai, gembira dan menyatakan kejengkelan
4.      Sikap dan perasaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri
b. Kematangan intelektual, yang mencakup aspek-aspek :
1.      Kemampuan mencapai wawasan diri sendiri
2.      Kemampuan memahami orang lain dan keragamannya
3.      Kemampuan mengambil keputusan
4.      Keterbukaan dalam mengenal lingkungan
c. Kematangan sosial, yang mencakup aspek-aspek : 
1.      Keterlibatan dalam partisipasi sosial
2.      Kesediaan kerjasama
3.      Kemampuan kepemimpinan
4.      Sikap toleransi
d. Tanggung jawab, yang mencakup aspek-aspek :
1.      Sikap produktif dalam mengembangkan diri
2.      Melakukan perencanaan dan melaksanakannya secara fleksibel
3.      Sikap empati, bersahabat dalam hubungan interpersonal
4.      Kesadaran akan etika dan hidup jujur.
2.3.5. Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Proses Penyesuain Diri
            Menurut Schneiders (dalam Sobur, 2003), faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri adalah:
1.      Kondisi Fisik
Aspek-aspek berkaitan dengan kondisi fisik yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri adalah:
·         Hereditas dan Konstitusi fisik
Temperamen merupakan komponen utama karena temperamen itu muncul, karakteristik yang paling dasar dari kepribadian, khususnya dalam memandang hubungan emosi dengan penyesuaian diri.
·         Sistem utama tubuh
sistem syaraf, kelenjar dan otot termasuk ke dalam sistem utama tubuh yang memiliki pengaruh terhadap penyesuaian diri.
·         Kesehatan fisik
Penyesuaian diri individu akan lebih mudah dilakukan dan dipelihara dalam kondisi fisik yang sehat daripada yang tidak sehat. Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri, harga diri, dan sejenisnya yang akan menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi proses penyesuain diri.
2.      Kepribadian
Unsur-unsur kepribadian yang penting pengaruhnya terhadap penyesuaian diri adalah:
·         Kemauan dan kemampuan untuk berubah.
·         Pengaturan diri.
·         Realisasi diri.
·         Kecerdasan.
3.      Edukasi/Pendidikan
Unsur-unsur penting dalam edukasi/pendidikan yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri individu adalah:
·         Belajar.
·         Pengalaman.
·         Latihan.
·         Determinasi dir.
4.      Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi:
·         Lingkungan keluarga.
·         Lingkungan masyarakat.
5.      Agama dan budaya
Agama berkaitan erat dengan faktor budaya. Agama memberikan sumbangan nilai-nilai, keyakinan, praktik-praktik yang memberikan makna sangat mendalam, tujuan serta kestabilan dan keseimbangan hidup individu. Budaya juga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan individu.
2.4. Bimbingan Klasikal Sebagai Strategi Dalam melaksanakan Layanan Dasar
Kurikulum bimbingan (layanan dasar) merupakan salah satu komponen dalam program bimbingan dan konseling komprehensif perkembangan. Kurikulum bimbingan merupakan serangkaian kompetensi yang dirumuskan berdasarkan pada hasil analisis kebutuhan dan dirancang secara sistematis serta bertahap untuk seluruh siswa.
Gysbers & Handerson(Muro & Kottman, 1995:5) mengungkapkan guidance curriculum is the core of the developmental approach. Kurikulum bimbingan merupakan bagian utama dalam keseluruhan program, hal ini dikarenakan kurikulum bimbingan mencakup berbagai kompetensi yang harus dikuasai oleh seluruh peserta didik yang dapat menunjang keberhasilan peserta didik dalam proses belajar dan kehidupannya.
Gysbers (CSCA, 2000:29) mengemukakan “ ... the curriculum component typically consist of student competencies and structured activities presented systematically trhough classroom or group activities.The curriculum is organized around three major content areas: academic, career and personal/social.
Kurikulum bimbingan dalam konteks layanan bimbingan dan konseling di Indonesia diterjemahkan dengan pelayanan dasar. ABKIN (Dirjen PMTK, 2007:208) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan layanan dasar adalah “ proses pemberian bantuan kepada seluruh konseli melalui kegiatan penyiapan pengalaman terstruktur secara klasikal atau kelompok yang disajikan secara sistematis dalam rangka mengembangkan perilaku jangka panjang sesuai dengan tahap dan tugas-tugas perkembangan (yang dituangkan sebagai standar kompetensi kemandirian) yang diperlukan dalam pengembangan kemampuan memilih dan mengambil keputusan dalam menjalani keputusannya”.
Kurikulum bimbingan dirancang untuk membekali berbagai keterampilan bagi para peserta didik untuk menunjang proses aktualisasi seluruh potensi diri individu. Kurikulum bimbingan diorganisasikan dalam tiga ranah utama perkembangan yaitu : learning to live (pribadi/sosial), learning to learn (akademik), learning to earn (karier). Ketiga ranah utama ini dikembangkan melalui berbagai aktivitas yang meliputi pengambilan keputusan, penuntasan masalah, perencanaan tujuan, organisasi dan manajemen informasi, kesadaran diri dan pemahaman diri (Nandang Rusmana, 2009:102).
Dari paparan di atas bisa diperoleh pemahaman bahwa kurikulum bimbingan merupakan layanan yang diperuntukan kepada seluruh siswa, proses pemberian layanan dasar dilakukan melalui proses bimbingan, hal ini dikarenakan isi dari kurikulum bimbingan merupakan berbagai keterampilan yang tidak bisa hanya diajarkan melalui proses pengajaran yang hanya berorientasi pada penyerapan informasi secara kognitif. Kurikulum bimbingan harus diberikan melalui proses bimbingan yang berorientasi membantu para peserta didik mencapai kesuksesan.
Nandang Rusmana (2009:12) mengemukakan beberapa karakteristik bimbingan yang bisa dijadikan asumsi dasar pelaksanaan layanan dasar melalui pendekatan bimbingan, yaitu :
·         Bimbingan adalah usaha pemberian bantuan
·         Bimbingan diberikan kepada orang-orang dari berbagai rentang usia
·         Bimbingan diberikan oleh tenaga ahli
·         Bimbingan bertujuan untuk perbaikan kehidupan orang-orang yang dibimbing, yaitu untuk :
1.      mengatur kehidupan sendiri
2.      mengembangkan atau memperluas pandangan
3.      menetapkan pilihan
4.      mengambil keputusan
5.      memikul beban kehidupan
6.      menyesuaikan diri
7.      mengembangkan kemampuan.
·         Bimbingan diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip demokratis.
·         Bimbingan merupakan bagian dari pendidikan secara keseluruhan.
(masih kurang tahap-tahap bimbingan kelompok).

2.5.  Kerangka berpikir
     Berdasarkan kajian teori di atas, kegiatan bimbingan klasikal menggunakan metode role play dapat membuat siswa aktif karena mereka mengalami secara langsung penyelesaian konflik melalui pemeranan, sehingga apa yang harus dipahami tersimpan dalam memorinya. Melalui metode ini siswa       
Penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, dimana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan frustrasi yang dialaminya, sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana ia tinggal.
     Bimbingan kelompok merupakan tempat bersosialisasi dengan anggota kelompok dimana masing-masing anggota kelompok akan mamahami dirinya dengan baik. Berdasarkan pemahaman diri itu dia lebih rela menerima dirinya sendiri dan lebih terbuka terhadap aspek-aspek positif dalam kepribadiannya, selain itu dalam layanan Bimbingan kelompok ketika dinamika kelompok sudah dapat tercipta dengan baik ikatan batin yang terjalin antar anggota kelompok akan lebih mempererat hubungan diantara mereka sehingga masing-masing individu akan merasa diterima dan dimengerti oleh orang lain, serta timbul penerimaan terhadap dirinya sendiri.
Kondisi lingkungan sekolah yang baru, transisi dari SMP ke SMA adalah salah satu dinamika yang dialami oleh siswa, siswa terkadang belum mampu menyesuaikan diri dengan lingkungans ekolah yang baru, dengan teman-teman yang baru. Guru BK atau konselor sekolah harus mempunyai cara supaya dapat meningkatkan penyesuaian diri siswa dengan cara membuat layanan bimbingan klasikal dengan metode yang variatif dan inovatif sehingga dapat menimbulkan suasana yang asik, aman, dan nyaman bag siswa serta konselor juga harus terbuka terhadap siswa dan tidak menjugde siswa.
Menurut Fromm dan Gilmore (dalam Desmita, 2009:195) ada empat aspek kepribadian dalam penyesuaian diri yang sehat antara lain :
a. Kematangan emosional, yang mencakup aspek-aspek :
Kemantapan suasana kehidupan emosional, Kemantapan suasana kehidupan kebersamaan dengan orang lain, Kemampuan untuk santai, gembira dan menyatakan kejengkelan, Sikap dan perasaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri.
b. Kematangan intelektual, yang mencakup aspek-aspek :
Kemampuan mencapai wawasan diri sendiri, Kemampuan memahami orang lain dan keragamannya, Kemampuan mengambil keputusan, Keterbukaan dalam mengenal lingkungan.
c. Kematangan sosial, yang mencakup aspek-aspek : 
Keterlibatan dalam partisipasi sosial, Kesediaan kerjasama, Kemampuan kepemimpinan, Sikap toleransi.
d. Tanggung jawab, yang mencakup aspek-aspek :
Sikap produktif dalam mengembangkan diri, Melakukan perencanaan dan melaksanakannya secara fleksibel, Sikap empati, bersahabat dalam hubungan interpersonal, Kesadaran akan etika dan hidup jujur.
2.6. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah dipaparkan diatas, maka hipotesis kerja dalam penelitian ini adalah adanya pengaruh metode role playing terhadap penyesuaian diri siswa kelas X SMA Negeri 15 Tangerang.

BAB III
METODE PENELITIAN

        I.            Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur pengaruh penerapan metode Role Play terhadap penyesuaian diri siswa kelas X SMAN 15 Tangerang.
      II.            Tempat dan Waktu Penelitian
A.      Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 15 Tangerang Jl. Villa Tangerang Regensi Periuk Periuk, Periuk, Kota Tangerang, Indonesia 15131.
B.      Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli s.d. November 2014. Dimulai pada semester ganjil tahun ajaran 2014/2015.
C.      Prosedur Penelitian
No
Kegiatan
Waktu
Kelompok
Skenario
1.
Perlakuan 1

45 menit
1,2,3,4
Pembukaan, konselor menjelaskan tujuan dari pembelajaran serta metode yang digunakan, konselor membagi kelas menjadi 4 kelompok, lalu memberikan instrument penyesuaian diri kepada siswa.
2.
Perlakuan 2
45 menit
1,2,3,4
Pemberian scenario kepada siswa, siswa mempelajari scenario dan berdiskusi dalam kelompok (untuk kelompok 3 dan 4 yang mendapat metode role play).
Kelompok 1 dan 2 membuat kelompok besar dikelas dan konselor memulai pembelajaran dengan metode ceramah mengenai penyesuaian diri.
3.
Perlakuan 3
45 Menit
1,2,3,4
Setelah siswa diberikan scenario pada minggu sebelumnya, Konselor memulai pembelajaran dengan metode role play, siswa berperan sesuai dengan scenario yang telah diberikan.
4.
Perlakuan 4
45 menit
1,2,3,4
Evaluasi, konselor dengan siswa bersama-sama melakukan evaluasi terhadap pembelajaran yang telah diberikan yaitu penyesuaian diri siswa, sehingga siswa dapat mengerti bagaimana menyesuaiakan diri yang baik dengan teman-temannya.
5.
Perlakuan 5
45 menit
1,2,3,4
Penutup, konselor menutup kegiatan dan memberikan tips-tips kepada siswa supaya siswa bisa meningkatkan penyesuaian diri dengan teman-temannya.

    III.            Populasi, Sample, dan Teknik Pengambilan Sample Penelitian
A.      Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 15 Tangerang yaitu sebanyak 295 orang
B.      Sampel
Arikunto menjelaskan bahwa apabila jumlah populasinya lebih dari 100 orang, maka sample yang digunakan adalah 10% - 15% dari populasi (Suharsimi, 1994), yaitu 21-31 orang. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti menggunakan salah satu kelas X SMA Negeri 15 Tangerang sebagai subjek dalam penelitian ini karena guru bk merekomendasikan kelas X.5 sebagai sample penelitian peneliti.
C.      Teknik Pengambilan Sampel
Untuk menentukan sampel yang aklan digunakan dalam penelitian ini, teknik yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Menurut Sugiyono (2010) purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu yakni sumber data dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan, sehingga mempermudah peneliti menjelajahi obyek atau situasi sosial yang sedang diteliti, yang menjadi kepedulian dalam pengambilan sampel penelitian kualitatif adalah tuntasnya pemerolehan informasi dengan keragaman variasi yang ada, bukan pada banyak sampel sumber data.
    IV.            Pendekatan dan Desain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Quasi Eksperimen. Desain Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain non ekuivalent control group desain. Karena pada desain ini kelas kontrol dan kelas eksperimen tidak dipilih secara random (Sugiyono, 2010). Yaitu adanya perbandingan hasil pretes dan postes antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Bagannya dapatdigambarkan seperti berikut:
O1        X1         O2
O2        X2         O2
Keterangan :
O1       : Pretest
O2       :Postest
XI         : Treatmen 1, yaitu meningkatkan penyesuaian diri siswa dengan metode   ceramah.
X2        : Treatmen 2, yaitu meningkatkan penyesuaian diri siswa dengan metode role playing.
      V.            Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data tentang variable pencapain tujuan pembelajaran diperoleh dengan menggunakan instrument. Skala pengukuran yang digunakan dalam instrument ini adalah skala Penyesuaian diri. Format respon yang digunakan dalam instrumen penelitian ini terdiri dari 4 alternatif jawaban yaitu selalu, seringkali, kadang-kadang, dan tidak pernah. Untuk mempermudah menghitung hasil yang diperoleh dari skala psikologis tersebut, maka setiap jawaban diberi skor. Jika itemnya berupa pernyataan positif maka skor untuk jawaban selalu (SL) 4, sering (SR) 3, kadang-kadang (KD) 2, tidak pernah (TP) 1 dan jika pernyataannya negatif maka skor untuk jawaban selalu (SL) 1, sering (SR) 2, kadang-kadang (KD) 3, tidak pernah (TP) 4.
Keterangan:
·         Selalu (SL), apabila pernyataan tersebut  selalu Anda lakukan sesuai dengan  keadaan /kondisi yang Anda alami. 
·         Sering (SR), apabila pernyataan tersebut  sering Anda lakukan sesuai dengan keadaan/kondisi yang Anda alami.
·         Kadang-kadang (KD), apabila pernyataan tersebut kadang-kadang Anda lakukan sesuai dengan  keadaan /kondisi yang Anda alami.
·         Tidak pernah (TP), apabila pernyataan tersebut tidak pernah Anda lakukan sesuai dengan  keadaan /kondisi yang Anda alami.
Adapun kisi-kisi skala psikologis penyesuaian diri yang diambil adalah sebagai
Berikut:





Kisi –kisi Pengembangan Instrumen
Penyesuaian diri
Variable
Indikator
Penyesuaian Diri
1.      Kestabilan Emosi
2.      Rasionalitas
3.      Kemampuan mengarahkan diri
4.      Kemampuan menghargai oranglain
5.      Kemampuan bekerjasama

    VI.            Uji Validitas dan Reliabilitas  
1.      Validitas
Validitas adalah ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan instrumen. Rumus yang digunakan untuk menguji validitas adalah rumus korelasi product moment angka kasar yang dikemukakan oleh Person. Teknik Product Moment Pearson dengan bantuan aplikasi Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16.0. Untuk menentukan valid atau tidaknya sebuah pernyataan dilakukan dengan cara membandingkan taraf signifikansi hitung dengan tingkat kesalahan (alpha) yang telah ditentukan, apabila taraf signifikansi hitung lebih kecil dari pada tingkat kesalahan (alpha) maka pernyataan dianggap valid, dan apabila taraf signifikansi hitung lebih besar dari pada tingkat kesalahan (alpha) maka pernyataan dinyatakan tidak valid. Tingkat kesalahan (alpha) yang ditentukan dalam pengujian validitas ini adalah sebesar 0.05
2.      Reliabilitas  
Reliabitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali—untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut reliabel. Dengan kata lain, reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama (Ancok dalam Singarimbun, 1989).
Untuk mendapatkan penilaian instrumen yang dapat dipercaya atau  menyatakan ketetapan (reliabel), maka digunakan rumus Alpha Cronbach (Sugiyono, 2009 h.257):

Dengan keterangan:
r 11        = Reliabilitas instrumen
            k          = Banyaknya butir soal yang valid                  
   = Jumlah Varians  butir
      = Varians  total
Sebelum menghitung reliabilitas instrumen, perlu diketahui jumlah varians butir soal atau . Dihitung dengan mencari varians tiap butir soal dengan menggunakan rumus :
=
Selanjutnya untuk menghitung varian total atau menggunakan rumus:
      =
            Hipotesis dalam penelitian ini diuji pada taraf signifikansi α = 0.05 atau dengan tingkat kesalahan sebesar 5%. Kriteria uji hipotesis pada penelitian ini adalah:
                               H0 ditolak = nilai asymp. Sig < Signifikansi α = 0.05
                               H0 diterima           = nilai asymp. Sig > Signifikansi α = 0.05
                               3.7. Hipotesis Statistik
                               Rumusan hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini yaitu:
            Ho: Penyesuaian diri siswa lebih rendah atau sama dengan setelah diberikannya bimbingan kelompok dengan teknik role playing.
            H1: Penyesuaian diri siswa lebih tinggi setelah diberikannya bimbingan kelompok dengan teknik role playing.
Berdasarkan rumusan hipotesis di atas, maka hipotesis statistik yang diuji dalam penelitian ini yaitu:
                                    Ho        : μ1≥μ2
                                    H1        : μ1<  μ2 









Daftar Pustaka:
·         Sukardi, Dewa Ketut. 2008. Proses Bimbingan dan konseling Di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
·         Tijan. 1993.  Bimbingan Dan Konseling Sekolah Menengah. Yogyakarta: Unit Percetakan dan Penerbitan (UPP) UNY.
·         Survey Federasi Kesehatan Mental Indonesia/Fekmi tahun (2005) tentang penyesuain diri siswa.
·         Schneiders, A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York: Rinehart & Winston.
·         Bruce joyce, marsha weil &Emily Calhoun, models of teaching :model-model pengajaran edisi delapan terjemahan achmad fawaid &ateilla mirza (yigyakarta, pustaka belajar, 2009).
·         W.S Winkel dan Sri Hastuti,  Bimbinga dan Konseling di Institusi Pendidikan, dikutip langsung (atau tidak langsung) oleh Aip Badrujaman, Teori dan Praktik Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling, Indeks, Jakarta, 2010
·         Hurlock, E. 1999. AdolescentDevelopment . New York: Mc Grow Hill BookCompany.
·         Alex Sobur, (2003). Psikologi Umum. Bandung : Pustaka Setia
·         Kartini Kartono, (2002). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Rineka Cipta
·         Sunarto dan Hartono. 2008.  Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Rineka    Cipta.
·         Desmita, (2009). Psikologi Perkembangan. Bandung : Remaja Rosda Karya.
·         Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, KualitatifDan R&D. Alfabeta: Bandung.
·         Rusmana, Nandang (2009). Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah (Metode, Teknik, dan Aplikasi). Bandung : Rizqi Press.

·         Yusuf, S & Nurihsan, A.J. (2006). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Remaja Rosdakarya. 


h Hak Cipta : Baiq Wachida Intan Pertiwi 

3 komentar:

Imamiya Hisbiyati on 10 Maret 2016 pukul 23.11 mengatakan...

bermanfaat banget postingannya.
thanks ya :)

Imamiya Hisbiyati on 10 Maret 2016 pukul 23.12 mengatakan...

bermanfaat banget postingannya.
thanks ya :)

Unknown on 8 April 2017 pukul 19.26 mengatakan...

Buku tentang penyesuaian diri apa aja?

Posting Komentar

 

Sherra Adianty's Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting