Sekitar jam 16.30
WIB sepulang kuliah dikampus D Gunadarma Margonda. Saya pulang menuju pasar rebo
dengan naik angkot 112 tujuan Depok-Rambutan. Kebetulan angkot penuh yang
tersisa hanya bangku bagian depan sebelah sopir. Perjalanan cukup panjang, dari
awal saya melihat gerak-gerik sopir seperti mencurigakan tapi saya masih tenang
karena angkot masih penuh. Ketika angkot sudah mulai masuk wilayah jalan Raya
Bogor satu persatu penumpang mulai turun dan yang terakhir turun didaerah
Ciracas. Saya mulai panic karena gelagat sopir mulai aneh, ketika menengok
kebelakang ternyata tinggal saya penumpang yang belum turun. Saya berusaha tenang
dan terus beristigfar dalam hati, pak sopir mulai berbasa-basi menanyakan
dimana saya akan turun. Dari situ pak sopir memulai pembicaraan, ya saya hanya
menjawab seadanya karena perasaan takut yang luar biasa. Bagaimana saya tidak
takut, banyak sekali pemberitaan mengenai kejahatan seksual dalam angkot
korbannya pasti wanita. Dengan mendengar jawaban saya yang ketakutan, pak sopir
mulai mencairkan suasana dengan menanyakan tentang kuliah dan beliau terkadang
menyelipkan kata-kata motivasi.
Pak sopir juga mulai menceritakan pengalaman
hidupnya yang ternyata beliau mempunyai title sarjana lulusan dari salah satu
perguran tinggi di Jogjakarta. Setelah lulus kuliah beliau sempat mengadu nasib
bekerja disebuah perusahaan di Kanada. Ketika pulang ke Indonesia beliau
menikah dan memutuskan untuk tinggal di Jakarta. Baginya perjalanan hidup yang
sesungguhnya baru dimulai. Karena sudah menjadi kepala keluarga yang
bertanggung jawab untuk mencari nafkah, beliau mulai mencari pekerjaan tetapi
tak semudah yang dibayangkan. Bekali-kali lamarannya ditolak beberapa
perusahaan, sampai akhirnya salah satu pabrik di Jakarta menerima lamarannya
tapi setelah interview menyesuaikan jabatan dan gaji menurut beliau sangat
tidak sesuai dengan pengalamannya yang pernah bekerja di Kanada dan titlenya
sebagai sarjana. Tetapi mau tidak mau beliau mengambil tawaran itu.
kebutuhan hidup keluarga semakin hari semakin
memaksanya untuk memutar otak harus beralih pekerjaan agar terpenuhi semuanya. Banyak
hal yang harus dipertimbangkan terutama masalah perasaan yang tidak tega untuk
meninggalkan anak dan istri jika beliau mengadu nasib di negeri orang lagi. Setelah
sepakat dengan sang istri, mereka memutuskan untuk membeli 2 buah angkot dengan
tabungan beliau dari hasil kerja selama di Kanada. Pada saat itu 1 angkot
disewakan dan yang 1 angkotnya lagi beliau yang menjadi sopir. Pengahsilan dari
usaha angkot ini sangat mengejutkan ternyata hasilnya lebih besar dari pada
kerja dipabrik. Beliau mulai semangat menekuni bekerja sebagai sopir angkot. Namun
bagi beliau bagimanapun orang pasti menilai sopir angkot yang selalu dicap “rendah”,
orang yang tidak berpendidikan, ibaratnya seperti tidak bagus masa depannyalah.
Terutama ketika orang tuanya tahu bahwa beliau di Jakarta menjadi sopir angkot,
perasaan orang tua mana yang tidak kecewa melihat anak yang telah disekolahkan
tinggi-tinggi tapi ujung-ujungnya menjadi sopir angkot. Orang tuanya begitu
kecewa dan sulit menerima kenyataan itu.
Sebagai anak yang merasa
gagal karena telah mengecewakan orang tuanya. Dengan tekad, usaha dan do’a demi
menyembuhkan kekecewaan orang tuanya, beliau membuktikan bahwa hidup sebagai
sopir angkotpun bisa sejahtera. Sedikit demi sedikit mulai menunjukan hasilnya,
sekarang beliau menjadi agen angkot dengan sesekali ketika jenuh beliau yang
menjadi soiprnya. Saya mulai berani menatap wajahnya, memang dapat dilihat
wajah lelah, perjuangan melawan pahitnya kehidupan dan kesungguhan dalam
mencari nafkah. Tidak terasa perjalanan akan sampai tujuan. Beliau memberi nasihat
seperti kedapa anaknya sendiri agar saya selalu semangat dan sungguh-sungguh. Mendengar
ceritanya hanya rasa ikut bangga, kagum, yang pasti inilah pelajaran hidup yang
begitu luar biasa.
0 komentar:
Posting Komentar